Seorang kawan tiba-tiba saja bertanya kepada saya. “Rud, maneh percaya teu kana kehidupan setelah mati? (Rud, kamu percaya gak dengan kehidupan setelah mati?)” karena saya anggap pertanyaan ini akan berlanjut dengan persoalan agama, saya pun hanya terdiam. Tak memperdulikan pertanyaan kawan saya tadi. Sudah lama saya mulai apatis dengan persoalan agama, tak mau terlibat dalam perbicangan seperti itu.
Walau saya tak memperdulikannya, tapi dia malah menimpali pertanyaannya sendiri. “Mun aing mah teu percaya kana kehidupan saengges paeh. (Kalua saya sendiri tidak percaya terhadap kehidupan setelah mati.)” Saya pun menatap dia sebentar tanpa ada rasa ketertarikan untuk menanggapinya. Dia sedikit memberikan argumentasinya, saya tak paham apa maksud omongannya karena tak memperhatikan ocehannya. Saya pun pura-pura mendengarkan argumentasi-argumentasi tentang ketidakpercayaannya terhadap hidup setelah mati.
Tidak enak rasanya jika saya mengabaikan dia seperti berbicara sendiri. Saya pun bertanya, “Mun kitu mah, didinya teu percaya kana pahala jeng dosa. (Kalau seperti itu, kamu tidak percaya terhadap pahala dan dosa?)” Rasa sesal menimpali ucapannya tak bisa saya tarik kembali. Terpaksa saya mendegarkan dia sedikit serius.
“Kana sorga jeng neraka oge teu percaya aing mah. Sok ayeuna misalken kieu mun jelema boga dosa 99, jeng pahala 1, (Terhadap surga dan neraka juga saya tidak percaya. Sekarang misalkan begini, jika manusia memiliki dosan 99, dan pahala 1,)” teman saya mulai menjelaskan alasannya. “Aya hadist nu ngomong bahwa setiap orang Islam itu masuk surga, tapi diasupken ka neraka heula mun boga dosa, berarti setelah dosana beak nu 99 eta, si eta asup surga ngan saukur hiji pahala. Angka hiji eta berarti tak terhingga atuh, (Ada hadist yang mengatakan bahwa setiap orang Islam akan masuk surga, tapi dimasukin ke neraka terlebih dulu jika memiliki dosa, berarti setelah dosanya habis yang 99 tadi, jelema Islam tersebut masuk surga hanya dengan pahala 1. Angka 1 tadi berarti tak terhingga.)” penjelasan kawan saya mulai dipahami karena saya dengarkan.
“Asup-asup, bisa asup ka otak aing mun kitu mah, (Bisa masuk ke dalam pikiran saya kalau seperti itu,)” ucap saya sambil mengangguk-nganggukan kepala sedikit. ”Ah da sebenarna mah eta mah teu bisa dirasionalken, (Tapi memang itu tidak bisa dirasionalisasikan),” saya pun mulai bingung dengan ucapan kawanku yang terakhir ini. “Ongkoh teu percaya, tapi argumentasinya direduksi ku statement sorangan, mereun lain mereduksi tapi ngomongken sorga mah memang teu bisa ku logika. Tapi tetep we mun urang hirup di dunia mah kudu dirasionalken walaupun eta can kaalamam ku jelema, (Katanya tidak percaya, tapi argumentasinya dibantah kus statement sendiri, mungkin bukan dibantah tapi berbicara surga itu tida bisa dengan logika. Tapi tetap saja jika kita hidup di dunia mesti dirasionalisasikan meskipun hal tersebut belum kita alami,)” kata saya dalam hati karena khawatir obrolan tersebut akan berlanjut jika saya mengucapkannya secara verbal.
Kawan saya yang satu lagi tak mau menghiraukan obrolan kami berdua. “Duh, hayang cuangki euy, eta cuangki lain? (Duh pengen cuangki, eta cuangki lain?)” tiba-tiba suara kawan saya yang satu ini terdengar. “Euh lain ningan, baso tahu eta mah, (Eh bukan ternyata, itu mah baso tahu,)” ucap kawan saya ini melanjutkan. “Baso tahu mah aing daek atuh, (Baso tahu mah saya mau dong,)” sontak saja saya menimpali kawan saya tadi dengan spontan. “Mang, stop mang, meuli baso tahu, (Mang stop mang, beli baso tahu,)” teriak kawan saya tadi sambil bertepuk memberi isyarat memanggil tukang baso tahu.
Setelah menyantap baso tahu yang harganya ternyata lain dari yang lain, saya pun tiba-tiba ingin melanjutkan obrolan yang sengaja saya hentikan tadi. Seperti ini saya memulai diskusi dengan bahasa Indonesia, “Saya menginginkan kehidupan yang abadi, baik melalui kematian, reinkarnasi menjadi manusia lagi, atau melalui proses kematian terlebih dahulu.”
“Karena saya menginginkan hal itu dan semua manusia pasti mengalami kematian, maka saya percaya ada kehidupan setalah manusia mengalami kematian.” Sejenak belum ada reaksi dari kawan saya yang memulai diskusi tersebut. “Sampai saat ini, saya sedikit ragu, apakah setelah kematian itu ada alam surga dan neraka atau tidak, tapi saya berkehendak bahwa saya menginginkan kehidupan yang penuh kenikmatan dan kebahagiaan.” Saya memutuskan ucapan saya dulu karena kopi di atas meja belum saya sentuh sejak tadi.
“Kalaupun saya percaya terhadap adanya surga, saya menginnginkannya sesuai dengan kehendak saya, bukan kehendak agama-agama yang selalu menawarkan tiket surga.” Cukup disini saja saya tuliskan isi obrolan santai dengan kawan saya. Saya akan melanjutkan pembahasan tersebut tanpa alur cerita seperti di atas.
Di bumi, terdapat berbagai makhluk, dari benda yang dianggap mati, tumbuhan, hewan dan manusia. Benda mati seperti api, air, batu dan sebagainya menurut filsafat eksistensialime sejajar dengan tumbuhan dan hewan dari eksistensinya. Sedangkan manusia itu berbeda dalam penciptaannya. Pernyataan orang-orang eksistensialis cukup sederhana. “Eksistensi mendahului esensi.”
Makhluk selain manusia sebelum terbentuk wujudnya, diciptakan terlebih dahulu esensi dan fungsinya. Misalkan api yang memiliki sifat panas, fungsinya untuk membakar. Tidak ada lagi sifat dan fungsi lagi yang terdapat pada api selain hal tersebut. Contoh lain yang sederhana adalah motor. Kenapa manusia membuat motor padahal sudah ada kendaraan seperti kuda atau onta. Alasannya pasti kemudahan dan kecepatan karena yang namanya teknologi diciptakan untuk memberikan kemudahan.
Sebelum motor itu tercipta, manusia sudah memikirkan terlebih dahulu sifat dan fungsi motor itu. Terdapat komponen yang banyak pada kendaraan ini, komponen-komponen yang dipasang ini memiliki fungsi masing-masing supaya fungsi motor tercipta. Bentuknya mengikuti fungsi tersebut. “Esensi mendahului eksistensi.” Ini untuk makhluk selain manusia. Berarti manusia lebih unggul dari pada fisik yang diciptakan selain manusia tadi.
Saya percaya dengan keberadaan Tuhan karena saya sebagai manusia memiliki kelemahan, saya juga percaya Tuhan karena pasti ada zat yang menciptakan saya. Tapi saya bukan benda, tapi saya manusia, tuhan menciptakan bentuk saya seperti ini, tapi yang menentukan sifat dan fungsi saya adalah diri saya sendiri. saya akan melakukan apa yang ingin saya lakukan atau ingin menjadikan diri saya siapa saja adalah sesuai kehendak saya, bukan kehendak Tuhan karena Tuhan hanya menciptakan saya fisiknya saja, sedangkan esensinya saya.
Jika motor itu rusak maka the end, ganti saja motornya karena eksistensi dan esensi motor ada yang menciptakan. Manusia mengalami kematian itu bukan sesuai dengan kehendaknya karena kematian merupakan akhir eksistensi di dunia. Apakah eksistensi manusia hilang lalu esensi itu juga hilang? Ternyata tidak. Yang mati hanya fisiknya, sedangkan sifat dan fungsi tidak akan pernah mati, tapi abadi.
Artinya, saya percaya bahwa Tuhan akan menciptakan kembali fisik manusia, yang pastinya di alam yang berbeda. Sampai dunia saat ini yang saya kenal, banyak agama yang selalu menawarkan ajaran-ajaran supaya manusia mendaptkan kebahagian setelah kematian. Bagi saya, agama hanya fisik yang dibuat, sifat dan fungsinya sama dengan makhluk selain manusia tadi. Berarti agama lebih rendah posisinya dari manusia. Manusia berada di tingkatan yang lebih tinggi dari agama.
Manusia penentu untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia itu, bukan ajaran-ajaran agama yang disampaikan oleh manusia yang banyak membual. Saya lebih percaya kepada Tuhan dari pada agama atau manusia. Manusia memiliki sifat dan fungsi yang berbeda, ada yang buruk dan ada yang baik. Buruk-baik sulit dinilai oleh sesama manusia.
Ajaran-ajaran agama pasti disampaikan oleh manusia, dan saya tak percaya dengan penyampaian itu. Saya lebih percaya terhadap diri saya sendiri. Karena tulisan ini akan panjang bila diteruskan, maka kesimpulannya untuk mendapatkan kebahagiaan setelah kematian, kalaupun ada surga, maka saya ingin masuk surga denga kehendak saya. Saya hanya percaya kepada Tuhan yang menciptakan saya dan menyediakan surga itu.
Bandung, 8 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar