Seorang anak remaja yang seharusnya masih duduk di tingkat SMP, dia malah bisa berkenalan dengan orang-orang penting dan besar. Hal ini jarang sekali terjadi pada diri setiap orang, bagi dirinya ini merupakan jalan menuju kesuksesan untuk menjadi seorang "raja". Anak itu adalah Oe Suat Hong, seorang keturunan Taiwan yang lahir di Pontianak, Kalimantan Barat pada 23 Juli 1958. Namanya pun diganti menjadi nama Indonesia, yaitu Tommy Winata.
Tommy Winata memiliki nama panggilan dari inisialnya sendiri, yaitu sering dipanggil Tewe. Sejak berumur 10 tahun, berkat kemampuan, lobi dan kejelian dalam menagkap peluang bisnis dia sudah memulai karirnya
dengan mendapatkan beberapa proyek. Kemudian Tewe merambah proyek bisnisnya dengan berkenalan dengan kalangan militer (dulu namanya ABRI). Tepatnya dia mulai berkenalan dengan kalangan militer pada tahun 1972 yang diperkenalkan oleh seniornya di Singkawang, Kalimantan Barat. Berarti dia bisa mengelola sebuah proyek pada usia 12 tahun. Makanya dia mendapatkan julukan si anak ajaib karena sesuatu hal yang tidak lumrah pada usia yang sangat muda bisa mengelola proyek. Apalagi proyek dari tentara bukanlah proyek kecil.
dengan mendapatkan beberapa proyek. Kemudian Tewe merambah proyek bisnisnya dengan berkenalan dengan kalangan militer (dulu namanya ABRI). Tepatnya dia mulai berkenalan dengan kalangan militer pada tahun 1972 yang diperkenalkan oleh seniornya di Singkawang, Kalimantan Barat. Berarti dia bisa mengelola sebuah proyek pada usia 12 tahun. Makanya dia mendapatkan julukan si anak ajaib karena sesuatu hal yang tidak lumrah pada usia yang sangat muda bisa mengelola proyek. Apalagi proyek dari tentara bukanlah proyek kecil.
Proyek pertama dari tentara tersebut adalah membangun mess tentara dengan nilai Rp 60 juta, sebuah angka yang cukup besar pada tahun itu. Seperti Liem Sio Liong bertemu dengan Soeharto, yaitu penguasa Orde Baru serta Bob Hasan bertemu dengan Gatot Subroto seorang Jenderal yang memperkenalkan Bob pada Soeharto. Begitu pun Tewe, seorang anak yang lahir dari keluarga miskin bertemu dengan Jendral Tiopan Bernard (TB) Silalahi.
TB. Silalahi juga adalah mantan sekjen Departemen Pertambangan dan Energi serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara pada kabinet Pembangunan VI pada masa Orde Baru. Berkat TB. Silalahi lah seorang Tewe bisa menjadi bos pada induk perusahaannya yang saat ini sudah menggurita. Kedekatannya dengan militer bukan rahasia lagi, sebuah laporan yang disusun Data Consult, bisnis Tewe menjalar dengan dukungan dana besar dari yayasan milik tentara, salah satunya Yayasan Kartika Eka Paksi.
Proyek dari tentara semakin banyak, dia mendapatkan order membangun barak, sekolah tentara di Irian Jaya pada usia 15 tahun. Dia juga selalu mendapatkan proyek pengiriman barang ke barak militer. Di Irian Jaya pula dia berkenalan dengan Yorrys Raweyai, ketua Pemuda Pancasila, sebuah organisasi yang dikenal dekat dengan kalangan militer juga. Pada era tahun 70-an dia merambah bisnisnya dari Irian Jaya sampai ke ujung pandang dan Ambon berkat keandalan, kehebatan, hubungan yang baik dengan militer dan pejabat. Dalam tempo 10 tahun, Tewe telah membangun imperium bisnisnya.
Bisnis Tewe merambah pada perdagangan, kontruksi, properti, hotel, perbankan, transportasi, telekomunikasi sampai real estate dengan di bawah payung induk perusahaannya, yaitu PT Artha Graha. Sejak mengenal Yayasan Kartika Eka Paksi masa keemasan Tewe pun tiba. Proyek raksasa kawasan bisnis Sudirman yang dilahirkannya dengan investasi US $ 3,25 miliar telah meraup keuntungan miliaran rupiah. Bisnis yayasan Kartika Eka Paksi yang bertalian dengan Artha Graha juga menghasilkan keuntungan tak sedikit.
Selain membangun kawasan bisnis sudirman, Tewe juga ikut membangun gedung bursa efek jakarta. Bukan hanya itu saja, dia juga ikut dalam proyek pembangunan Bukit Golf Meditariana, Kelapa Gading Square, The City Resort, Mangga dua Square, Pasifik Place, Discovery Mall Bali, Borobudur Hotel, The Capital Residence, Apartemen Kusuma Candra, Ancol Mansion, The Mansion at Kemang, Mall Artha Gading, dan Senayan Golf Residence. Diperhitungkan kekayaan pada tahun 1997 saja mencapai Rp 3,5 triliun, sebuah angka yang sangat besar.
Tewe dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang baik dan dermawan. Dia tidak sungkan-sungkan memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkannya. Tak sedikit juga wartawan dan LSM dekat dengan Tewe karena jalinan yang baik antara Tewe dengan pihak lain. Tewe selalu berpenampilan sederhana, tak pernah tampak dari penampilannya sebagai orang besar dan konglomerat, tak jauh berbeda penampilannya dengan orang biasa.
Hanya saja, banyak pihak yang menilai Tewe seorang mafioso. Tuduhan miring kepada Tewe tak pernah ia gubris karena baginya, kesuksesan seseorang selalu menerima tuduhan hal seperti itu. Selain itu juga karena Tewe terlalu dekat dengan kalangan militer. Melalui hubungan militer juga, mungkin tuduhan itu selalu dialamatkan kepada Tewe. Uang, kekuasan dan militer yang dimilikinya menjadi kata untuk menyerang Tewe.
Dia pernah bermasalah hukum dengan majalah Tempo. Majalah ini pernah menurunkan artikel tentang dugaan keterlibatan Tewe dalam kebakaran pasar Tanah Abang. Tewe tak terima, entah atas intruksinya atau memang kesetiaan masyarakat terhadap Tewe, orang-orang yang tak dikenal menyerang gedung Tempo dan menghajar Pemimpin Redaksi Tempo.
Atas nama pencemaran nama baik, Tewe membawa masalah itu ke meja hijau dan berakhir dengan perdamaian. Sebelumnya juga Tewe pernah dituding oleh majalah ini sebagai orang yang memiliki bisnis judi. Tewe tak terima, dan dia memenangkan di meja hijau. Itulah si anak ajaib, yang selalu beruntung dalam hidupnya.
“Meminta lebih mahal dari pada membeli”. Itulah sebuah “dalil” yang cocok menjadi prinsip bagi seorang Tewe. Dia tidak pernah meminta kepada orang lain, dia tidak pernah mengemis untuk hidup. Uang, kekuatan dan jalinan dengan orang penting dan besar dia bangun dengan cara membeli. Orang yang lahir dari keluarga miskin ini awalnya tentu tidak membeli keinginan dengan uang, tapi dengan tekad dan kemampuannya dalam menjalin hubungan.
Sejak kecil, Tewe tak pernah mengeluh dalam menjalani kehidupannya walaupun masa kecilnya hidup dalam kemiskinan. Dia punya tekad dan hasrat menjadi orang besar. Untuk menuju menjadi orang besar, perlu skill yang menjadi modalnya. Otak bisnis ternyata sudah tertanam padanya sejak usia 10 tahun.
Pada usia belasan, dia bisa memegang proyek, sulit diterima. Padahal tak menempuh pendidikan tentang ekonomi, manajamen dan proyek, Ketika usia belasan orang-orang masih duduk mendengarkan guru atau dosen berbicara tentan ekonomi dan manajemen, Tewe sudah dapat mempraktikannya di lapangan. Jarang, mungkin juga tak pernah dialami oleh kita. Tewe, Si Anak Ajaib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar