Walaupun saya membaca salah satu buku rujukan para jurnalis Indonesia sudah lama sekali, tapi isi buku itu selalu mengingatkan saya ketika mengelola sebuah media. Padahal saya tidak pernah membuka kembali buku yang dimaksud. Seorang praktisi media Indonesia yaitu Andreas Harsono juga selalu mengutip apa yang dipaparkan dalam buku itu. "9 Elemen Jurnalisme". Buku ini ditulis oleh wartawan Amerika Serikat, Bill Kovach dan Tom Rosentiel.
Satu elemen yang ditekankan oleh penulis buku itu adalah definisi kebenaran. Saya yakin, kebenaran tidak dimiliki oleh satu pihak. Tidak ada kebenaran mutlak. Hal yang tidak bisa disentuh tapi hanya bisa dirasakan selalu menimbulkan banyak perspektif. Bahkan orang yang sudah banyak mempelajari banyak ilmu pun kadang masih belum bisa menemukan definisi kebenaran mutlak.
Kebenaran hanya berlaku pada satu wilayah dan golongan tertentu. Sebuah organisasi mafia memiliki suatu aturan yang sangat ketat untuk para anggotanya. Jika melanggar aturan yang sudah digariskan oleh pimpinan organsasi itu, maka hukuman wajib ditimpakan. Hukuman yang paling gampang adalah ditembak mati. Tapi inilah kebenaran, kebenaran bagi organisasi mafia tersebut. Beda lagi penilaian bagi pihak yangberada di luar oraganisasi itu.
Berbicara kebenaran agama tak luput dari perspektif dalam memandang kebenaran. Agama dan kepercayaan yang berdiri di dunia ini sangat beragam, mereka memegang kebenaran masing-masing. Bukan berarti semua kebenaran agama yang dipegang itu benar semua, tapi bagaimana manusia menyikapi beragam kebenaran itu.
Kebenaran merupakan prinsip utama yang sangat membingungkan. Misalkan saja ketika BHMN menjadi hukum rujukan bagi PTN, berbagai pihak yang kritis mulai melemparkan protes kepada penyelenggara negara. Alasan mereka cukup jelas. Walaupun BHMN dilegalkan secara hukum, tapi ternyata menyalahi UUD '45 tentang kewajiban negara dalam pendidikan terhadap rakyat. Tidak berhenti disitu, kelegalan hukum BHMN pun ternyata dipertanyakan. Tapi konsep BHMN tetap berjalan mesti dianggap melanggar konstitusi.
Defisini dan konsep muncul dari berbagai arah. Diambil dari berbagai perspektif ilmu ternyata kebenaran banyak sudut pandangnya. Seperti disiplin ilmu yang lain, kita harus konsisten memegang satu kebenaran tapi tidak menegasikan dan mereduksi kebenaran yang lain. Pertanyaan klasik selalu muncul, "Kebenaran seperti apa yang harus dipegang?"
Dalam kemediaan, Bill Kovach menyodorkan satu konsep kebenaran, "Kebenaran Fungsional." Inilah kebenaran yang pluralis. Tidak dibatasi oleh golongan (ras, suku, agama dan ideologi). Sebagai contoh adalah bentrokan antar keyakinan umat beragama. Posisi media tidak berada pada salah satu pihak. Media mesti memegang kebenaran fungsional tadi. Seperti seorang ahli hukum dalam memecahkan permasalahan hukum, dia selalu memegang kebenaran prosedural. Dia bekerja sesuai dengan jalur hukum dan prosedur yang berlaku. Begitupun dengan media, dia menjalankan fungsi kemediannya sesuai dengan fungsi dan prosedur yang berlaku. Meskipun pada akhirnya media mengangkat salah satu pihak, tapi telah menjalanka cara kerja jurnalistik sesuai dengan kaidah-kaidah.
Andreas Harsono: Agama saya jurnalisme
Pernyataan Andreas seperti itu bukan berarti dia memproklamasikan agama baru bernama jurnalisme karena dia sendiri tidak pernah mendeklarasikan diri sebagai nabi. Dia juga tidak mencari Tuhan untuk agama baru ini. Berbicara jurnalisme sebagai agama tidak berurusan dengan wilayah spiritual, tapi jurnalisme dijadikan sebagai cara pandang dalam menjalani kehidupan.
Manusia hidup di dunia dengan permasalahan yang cukup kompleks, sehingga cara memandang dan menyelesaikannya pun beragam. Ada yang menggunakan dengan agama atau ideologi tertentu. Bahkan juga hukum atau adat tertentu.
Kebanggaan etnisitas atau chauvinisme bisa menimbulkan konflik sehingga timbul konflik etnis dan golongan. Dengan jurnalisme tidak dibatasi dengan hal itu, selalu bersikap pluralis. Tidak pernah mengklaim kebenaran milik satu pihak, jurnalisme juga tidak pernah mengklaim dirinya paling benar.
Pengakuan Andreas bisa dibaca pada hasil wawancara tentang latar belakang Andreas dalam memandang kehidupan. Mulai dari permasalahan agama sampai etnis. Dia sudah merasakan berbagai macam kehidupan beragama, dari konghucu, kristen sampai dia hidup di pesantren.
Tidak ada kebenaran yang bisa menyatukan semua keberagaman jika kebenaran hanya bertumpu pada satu kebenaran saja. hanya agama jurnalisme yang bisa menyatukan perbedaan. Banyak contoh terjadi kekerasan sampai peperangan karena masing-masing pihak mengklaim kebenaran. Jika pengklaiman kebenaran dibarengi dengan sikap toleransi, maka tidak akan muncul konflik yang berdarah. Jurnalisme selalu menghormati dan menghargai kebenaran masing-masing. Sekali lagi, maksud "agama saya jurnalisme" merupakan sikap dan nilai-nilai yang terkandung dalam jurnalisme, bukan sebagai jalan untuk berhubungan dengan Tuhan.
Bandung, 21 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar