Rudini Sirat

Saha Maneh Saha

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Nomor kontak saya 085721653609. info lengkapnya di http://www.facebook.com/rud.tankian/info

Jumat, 10 Februari 2012

Indonesia Tanpa TKW


Hari Perempuan Internasional menjadi momentum untuk memunculkan kembali wacana seputar permasalahan perempuan. Mulai dari pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi dan politik, kesetaraan gender, perlindungan perempuan dari kekerasan, hingga perlakuan buruk dari majikan terhadap pembantu dan para Tenaga Kerja Wanita (TKW). Semua itu menjadi bahan perbincangan menarik saat mendekati Hari Perempuan Internasional, 8 Maret.


Tak ketinggalan mahasiswa yang bergiat pada organisasi mahasiswa ikut memeriahkan momentum tersebut dengan mengadakan seminar atau diskusi publik. Tema yang diangkat cukup beragam. Mahasiswa biasanya mengambil tema sesuai dengan historis kemunculan Hari Perempuan Internasional, yaitu perburuhan atau tenaga kerja di pabrik-pabrik. Seorang perempuan yang setahun lalu saya kenal kebetulan menyukai isu perempuan dan gender, dia aktif di himpunan mahasiswa jurusan. Diskusi publik masuk program kerjanya, dan waktu yang ditentukan untuk menggelar diskusi publik berdekatan dengan Hari Perempuan Internasional. Topik inipun dipilih. Tema yang diangkat terkait TKW.

Saya dimintainya saran untuk memberikan tema terkait TKW. Karena permasalahan TKW tak hanya sekadar perlakuan buruk dari majikan terhadap TKW, maka temanya mesti dilihat dari beberapa sudut pandang. Faktor kemunculan TKW menjadi landasan pokok untuk mengupas semuanya. Hal yang pokok dari kemunculan TKW adalah permasalahan ekonomi di tanah air. Dari situlah saya ingin mengupas sedikit saja terkait potensi perempuan dalam menggerakan perekonomian.

Pada perbincangan ini saya lebih menyukai penggunaan istilah perempuan dari pada wanita karena istilah perempuan berada pada posisi sebagai subjek. Istilah wanita digunakan untuk menunjukan objek yang diinginkan pria. Wanita menjadi second sex. Asal katanya pun kurang sopan. Dalam kreta basa, wanita berasal dari dua bentukan yaitu wani ditata dan wani ing tapa (berani menderita).

Adapun perempuan terkait peran dalam kehidupan domestik maupun publik, yaitu berasal dari kata Empu yang memiliki makna sokong, hulu, mahir, dan mandiri. Mungkin istilah wanita tunasusila digunakan karena
pertimbangan maknanya. Mungkin juga penggunaan kata TKW karena pertimbangan tersebut, pihak yang sering mengalami penderitaan.

Perempuan dan ekonomi. Saya teringat kembali dengan informasi tentang Bankir Bangladesh Muhammad Yunus yang pernah saya baca di beberapa artikel online. Bagi saya dia adalah orang yang hebat dan tepat dalam menyusur perempuan sebagai sasaran nasabahnya. Hal pertama yang terpikirkan olehnya bukan mencari keuntungan, tapi membantu jutaan perempuan Bangladesh yang terjerat dalam kemiskinan.

Perempuan dijadikan nasabahnya karena perempuan bisa dipercaya. Perempuan bisa bertanggung jawab terhadap keluarga yang akan berefek terhadap usaha, penuh perhitungan, cerdas dalam mengelola keuangan, dapat meminimalisir bahkan menghindari tindakan korupsi, dan perempuan lebih dewasa serta mandiri.

Muhammad Yunus sukses melakukan hal tersebut. Jutaan perempuan Bangladesh bisa menjadi wirausahawati mandiri dan keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Muhammad Yunus pun dianugerahi nobel perdamaian tahun 2006. Meskipun tugasnya belum selesai, setidaknya dia telah mengurangi tingkat kemiskinan di negaranya dengan memberdayakan kaum perempuan sebagai “aktor” pembangun perekonomian rakyat.

Bagaimana dengan Indonesia? Inilah permasalahan utama yang harus dituntaskan oleh korporat besar dan para bankir. Korporat memegang peranan penting dari pada pemerintah. Bukankah saat ini pemerintah hanya bisa mengeluarkan kebijakan dan memberikan saran dibandingkan dengan menuntaskan permasalahan TKW? Menurut saya sangat keliru jika pemerintah memberikan dana kredit usaha rakyat kepada para TKW yang akan berangkat menjadi babu di negeri asing. TKW harus berhadapan dengan majikan yang tak manusiawi dan jahiliyah.

Melihat fenomena tersebut, beberapa bank dan korporat melirik kaum perempuan dengan mengucurkan kredit usaha. Empat tahun terakhir ini, Bank Nasional Indonesia (BNI) menemukan fenomena yang cukup menggembirakan. Perempuan yang berwirausaha mengalami lonjakan sebesar 40%. Dari 58 ribu usaha kecil, 25% dijalankan oleh perempuan. Naik 10% dari tahun sebelumnya yang hanya 15%. Bagusnya lagi tingkat non performing loan (kredit macet) wirausahawan perempuan lebih rendah. Diakui oleh BNI, bahwa perempuan datang ke bank ketika bisnisnya sudah mapan.

Di Medan, Bank Sumut merasakan kehadiran usaha mikro dan kecil yang dijalankan kaum perempuan dapat menggerakkan perekonomian daerah. Hal yang mencengangkan lagi adalah pembayaran kreditnya sangat lancar. Melihat hal seperti itu, Bank Sumut memberikan perhatian yang serius terhadap usaha perempuan dalam berbisnis. Kucuran kredit pun terus ditingkatkan untuk pemberdayaan usaha perempuan melalui program usaha mikro dan kecil. Akhir 2011, kredit sebesar Rp 280 miliyar dikucurkan kepada wirausahawan perempuan di Medan.

Satu lagi perusahaan dari keluarga Bakrie. Dengan Bakrie Microfinance-nya mulai memberikan perhatian terhadap usaha kecil kaum perempuan. Meskipun dana yang dikucurkan per orangnya hanya satu juta rupiah, tapi cukup berarti bagi perempuan yang menjalankan usaha kecil-kecilan seperti untuk menambah modal dagang sayuran, gorengan, bakso, dagang tempe atau lainnya. Tujuan Bakrie Microfinance cukup jelas, yaitu untuk mengurangi pengangguran dan mengurangi migrasi perempuan ke luar negeri.

Seandaninya semua korporat dan bank melakukan hal seperti itu, saya jamin tidak akan ada lagi perempuan yang mencari penghidupan ke luar negeri. Mereka bisa mencari penghidupan di tanahnya sendiri, ikut memajukan perekonomian nasional. Bukankah kita tidak ingin Indonesia dikenal dengan ekspor TKW-nya? Bukankah kita tidak ingin TKW diperas hanya karena mendapat “gelar” pahlawan devisa? Kaum perempuan harus dilibatkan dalam perekonomian rakyat. Mereka tidak bisa sendirian dan dibiarkan. Mereka harus disokong. Tidak perlu lagi perempuan Indonesia menjadi TKW.

Sayang, seperti yang diakui Menteri Pemberdayaan Perempuan RI, bahwa jumlah pengusaha perempuan di Indonesia masih minim, yakni 0,1 persen dari total penduduk. Padahal, jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki.

3 komentar:

  1. Harusnya kalo bekerja ke luar negeri yang suami aja. Atau suami ikut mendampingi istri ke luar negeri. Saran sih.

    i-hidayat.blogspot.com

    BalasHapus
  2. Berbagi Kisah, informasi dan foto

    Tentang Indahnya INDONESIA

    www.jelajah-nesia.blogspot.com

    BalasHapus
  3. TKW merupakan salah satu sumber penghasilan devisa negara, namaun bukan bearti TKW Indonesia yang di berangkatkan ke luar negeri tanpa bermodalkan keakhlian.

    Sukses selalu

    Salam Wisata

    BalasHapus