Karikatur dari Jawa Pos. |
Sayangnya yang dijagokan dan disuarakan kebanyakan tokoh kadaluwarsa, kurang berkharisma dan tak mumpuni. Mereka hanya mengandalkan popularitas yang bertumpu pada pasar politik. Ya, apa yang disebut oleh Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Firmanzah sebagai strategi marketing politik dalam bukunya berjudul Marketing Politik itu.
Banyak seminar yang bertemakan pemimpin ideal. Penyelenggaranya kebanyakan dari Parpol. Temanya memang menarik, sayang juga, hanya dalam tataran wacana. Penyebabnya, sulit menemukan presiden berkharisma, peka, bernaluri tinggi, mampu membangun jati diri serta mempetahankan kedaulatan negeri, mumpuni dan tegas. Kita mengenal siapa Presiden Soekarno yang berkharisma tinggi dan berani menantang Amerika, Soeharto yang tegas mampu membangun perekonomian nasional, Habibie melek Iptek, Gus Dur berintelektual tinggi, Megawati yang suka melimpahkan wewenang, dan kini SBY yang lembek banyak mikir dibanding tindakan.
Hanya dua presiden saja yang benar-benar seorang pemimpin. Soekarno dan Soeharto. Makanya mereka berdua memegang kekuasaan cukup lama, seperti dua orang inilah yang disebut pemimpin. Bukan karena lamanya berkuasa, tapi karakter memimpinnya yang melekat. Kita tak perlu memperdebatkan kebijakannya, yang jelas dua tokoh ini benar-benar memimpin Indonesia. Tetapi di antara semuanya, secara pribadi sepertinya Soeharto yang lebih hebat. Dia bak raja.
Soeharto naik begitu rapi dan turun begitu aman. Kasus-kasusnya pun kandas diadili. Berbeda dengan Soekarno, dia turun dari kursi presiden begitu menyedihkan. Hidupnya setelah tumbang tak layak seperti mantan presiden. Tapi nama Soekarno hingga hari ini melegenda, bahkan sudah diakui sebagai salah satu pemimpin berpengaruh di dunia.
Indonesia krisis pemimpin. Belum muncul karakter pemimpin. Jusuf Kalla sebenarnya punya hal itu, terlihat selama menjadi Wapres dia begitu tegas dan berani mengambil tindakan meski dianggap tak populis. Kalla begitu berbeda dengan Wapres lainnya. Maka dari itu SBY tak mau bersanding dengannya lagi. Meski begitu, site plan-nya tak menggunakan konsep ekonomi kerakyatan. Pola pikirnya amat kapitalistis.
Partai Demokrat, popularitasnya mulai menurun karena banyak kasus yang menimpa kadernya. Krisis kader, itulah yang menimpa Demokrat. Dalam mencari Capres 2014, agaknya Demokrat masih asal sebut. Misalnya saat Dahlan Iskan naik daun, diwacanakan akan diusung sebagai Capres. Selain Dahlan, istri SBY Ani Yudhoyono itu kini disuarakan akan maju menjadi Capres.
Mau Demokrat, Golkar, PKS ataupun Parpol mana saja, yang jelas masyarakat minim akan referensi Capres. Kita hidup di alam demokrasi, rakyat punya kewenangan dalam menentukan Capres. Referensi capres mesti dimiliki oleh rakyat yang jauh dari kepentingan pribadi dan golongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar