Ayam bertelur emas. Ayamnya tetap dimiliki, tapi emasnya diserahkan ke orang lain. Tak hanya telurnya, ayamnya juga ikut diserahkan karena tak mengerti bagaimana cara memelihara ayam bertelurkan emas. Dia mengira, ayam ini akan terus-terusan bertelur emas. Ternyata telur emas yang keluar dari ayam itu cuma sekali. Anehnya, tak sedikitpun ada rasa penyesalan kehilangan telur emas. Mungkin itu gambaran kelakuan pemerintah terkait pengelolaan minyak dan gas (migas) tiap kali menemukan potensi migas baru.
Meski pemerintah sering mengatakan bahwa cadangan migas di perut bumi Indonesia semakin menurun, tapi ancaman tersebut baru di mulutnya saja, tak membuat dirinya sadar. Pemerintah ternyata hanya sekadar tahu saja ancaman kekurangan energi tersebut. Jika migas terus-terusan disedot, bisa habis. Perut bumi Indonesia pun bisa kering dari migas.
Indonesia impor minyak dan BBM karena hasil lifting tak mencukupi untuk kebutuhan dalam negeri. Pasalnya lifting tersebut mesti dibagi dengan kontraktor asing. Baru-baru ini ditemukan 19 wilayah blok migas di Indonesia. Pemerintah yang diwakili Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan lelang eksplorasi 19 wilayah kerja blok migas baru itu. Perusahaan yang turut ikut lelang tentunya perusahaan minyak asing, terutama dari Amerika Serikat.
Adapun blok-blok migas yang baru ditemukan itu di antaranya Blok West Pelikan, Blok East Sokang, Blok South Sampang, Blok Offshore South East Mangkalihat, Blok East Aru, Blok Bireun Sigli, Blok Bohorok, Blok Mahato, Blok Bukit Batu, Blok South Lirik, dan Blok Bengkulu I Mentawai.
Saat ini juga Kementerian ESDM mencatat, terdapat 12 blok migas di laut dalam yang akan diserahkan pengelolaannya ke pihak asing. Blok-blok itu adalah Andaman III (200 - 1.500 m), Sunda Strait I (200 - 1.500 m), South East Ganal I (200 - 2.500 m), West Sageri (100 - 1.500 m), Karama (100 - 2.000 m), dan Kuma (100 - 1.500 m). Blok migas lain yang berada di laut dalam adalah, Surumana (100 - 1.500 m), Mandar (100 - 2.000 m), Sageri (500 - 2.000 m), Semai II (100 - 1.000 m), SE Palung Aru (100 - 1.000 m), dan Cendrawasih Bay II (100 - 1.500 m).
Kontrak kerja sama eksplorasi yang sebelumnya terus diperpanjang oleh pemerintah dengan kontraktor minyak asing saja sering mendapatkan kecaman dari berbagai kalangan dan beberapa ekonom. Salah seorang ekonom Indonesia Kwik Kian Gie misalnya tak ada rasa capenya mengecam tindakan pemerintah terkait penyerahan pengelolaan migas kepada perusahaan asing. Apalagi penemuan blok migas yang baru, tentu bukan kecaman lagi tapi kutukan. Betapa tidak, pemerintah sering kali mengeluh tentang minimnya energi, tapi di sisi lain pemerintah tak mau memanfaatkan sendiri potensi minyak yang ada.
Jika pemerintah terus menerus tidak melakukan eksplorasi sendiri, jatah dalam negeri akan semakin berkurang. Krisis energi bukan sekadar wacana belaka, tapi pasti terjadi. Apa yang menyebabkan pemerintah tidak mau melakukan eksplorasi sendiri? Apakah terkendala dengan teknologi, modal dan tenaga profesional? Bukankah persoalan tersebut merupakan persoalan klasik? Mengapa faktor tersebut menjadi kendala? Bukankah pemerintah punya Pertamina yang bisa melakukan eksplorasi? Apakah Pertamina tidak sanggup mengelola blok migas?
Pemerintahan Indonesia saat ini bukanlah di jaman Orde Lama lagi yang serba terkendala dengan faktor tadi. Negeri ini sudah merdeka 67 tahun. Negeri ini sudah banyak belajar kepada negara maju. Sayangnya, hingga kini negeri kita terutama para pengelola negara masih bergantung.
Sebagai rakyat Indonesia, kita semakin khawatir karena sektor ekonomi Indonesia tak dikuasai oleh Indonesia sendiri. Hampir semua sektor ekonomi dikuasi asing. Hal ini karena, pemerintah kita selalu pesimis dan tak percaya diri terhadap kemampuan dalam kepemilikan alat-alat produksi. Teknologi, modal dan tenaga profesional untuk eksplorasi migas merupakan alat produksi yang tak pernah dimiliki Indonesia. Benarkah Indonesia tak bisa memiliki alat produksi tersebut? Saya pikir pandangan tersebut sangatlah keliru. Indonesia bukan tak memiliki, tapi tak mau memilikinya.
Dengan kondisi seperti ini, Negara Indonesia semakin tak berdaya. Sadarkah pemerintah dengan kondisi negeri ini? Lihatlah ekspansi asing ke Indonesia, tak hanya menguasai petambangan saja, tapi perbankan nasional juga kini sudah dikendalikan asing. Sektor perbankan merupakan sektor yang vital bagi perekonomian nasional, tapi mengapa membiarkan asing menguasainya?
Perbankan merupakan darah ekonomi nasional. Jika aliran darah sengaja diberhentikan, kematian yang akan dialami. Demi pasar, pihak asing tentu tak akan mematikan aliran darah tersebut. Jika asing menguasai perbankan nasional di Indonsia, itu artinya mereka menguasai darah perekonomian negeri ini. Kita sebagai bangsa Indonesia tentu tak mau dikendalikan oleh asing. Ini bukan salah asing sepenuhnya, tapi ini salah pemerintah sebagai pengelola negara.
Wah, jadi ngeri lihat pemerintah nih...,
BalasHapus