Rudini Sirat

Saha Maneh Saha

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Nomor kontak saya 085721653609. info lengkapnya di http://www.facebook.com/rud.tankian/info

Selasa, 10 April 2012

Rakyat Tak Peduli Koalisi

Partai koalisi.
Perbedaan pandangan soal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) merupakan puncak dari kisruh dalam koalisi partai. Partai koalisi yang terdiri dari Demokrat, Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa sepakat dengan pemerintah menaikan harga BBM yang kala itu akan diberlakukan pada 1 April 2012. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meski bagian dari partai koalisi, tapi menolak kenaikan harga BBM. Setelah Sidang Paripurna diadakan pada 31 Maret 2012, diputuskan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyerahkan kewenangan kepada pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM dengan harga minyak dunia. Dalam sidang tersebut juga, PKS tetap pada pendirian menolak kenaikan harga BBM. PKS pun semakin didesak untuk keluar dari koalisi. Jika tidak, karakter PKS seperti hewan amphibi yang bisa hidup di dua alam.

Semua langkah parpol, baik di koalisi maupun di oposisi tetap pada peta politiknya. Tak ada satupun langkah partai untuk memperbaiki keadaan negeri. Sikap politik mereka adalah suatu strategi dan taktik untuk mendapatkan dukungan rakyat. Tengok saja sikap PDIP pimpinan Megawati yang menolak kenaikan harga BBM. Bahkan rela mau bergabung dengan massa dan mahasiswa untuk melakukan demonstrasi. Jika mau dievaluasi, memangnya saat Megawati menjadi Presiden tak pernah menaikan harga BBM? Bahkan, Megawati melakukan privatisasi perusahaan negara yang sangat vital dari sektor ekonomi. Pihak koalisi maupun oposisi sama saja. Meski mengklaim menyuarakan kepentingan rakyat, tapi sejatinya itu hanya langkah politik mereka.

Parpol tak disibukkan dengan persoalan yang lansung menyentuh kepentingan negeri dan rakyat. Pesoalan sektor ekonomi demi kemakmuran rakyat merupakan persoalan yang langsung bersentuhan dengan kepentingan rakyat. Padahal ini merupakan amanat konstitusi UUD 1945. Sementara persoalan kursi menteri dan koalisi merupakan persoalan antara parpol yang tak langsung bersentuhan dengan rakyat. Ini menjadi dasar kita dalam menilai kepentingan berbagai pihak. Mengapa tak ada satupun parpol yang berbicara tentang penguasaan sektor ekonomi? DPR tidak lagi menjadi wadah aspirasi rakyat, tapi tempat aspirasi parpol masing-masing. Di tempat inilah seringkali terjadi transaksi ekonomi dan politik meski mereka bermain di balik layar.

Memangnya selama ini kesepatakan antar fraksi di DPR berbas dari dari traksaksi? Jika mereka berbicara atas nama rakyat, itu hanya bagian dari drama yang sudah diatur oleh sang sutradara. Rakyat sudah muak dengan drama semacama ini. Rakyat sudah apatis dengan parpol. Parpol tak pernah berbicara tentang peningkatan APBN dari berbagai sektor ekonomi. Seandainya negeri ini menguasai semua sektor ekonomi, maka para petani, nelayan, buruh, dan semua rakyat Indonesia tak akan berkeluh kesah. SBY dan menterinya juga tak akan berkeluh kesah. Hal ini karena APBN kita bisa besar, bahkan pajak bisa tidak lagi menjadi sumber utama APBN.

Persoalan kenaikan harga BBM bukanlah persoalan kenaikan harga minyak dunia dan beban subsidi, tapi penguasaan sektor ekonomi. Jika minyak yang digali dari perut bumi Indonesia dikuasi negara, pemerintah bisa menetapkan harga minyak sendiri. Pemerintah cukup mengeluarkan cost recovery dan opportunity cost saja. Memang, cadangan minyak kita semakin berkurang sehingga kita mesti impor. Pada saat impor minyak inilah, sebagian harga minyak mengikuti harga minyak dunia. Artinya, tidak sepenuhnya harga minyak yang ditetapkan mengikuti harga minyak dunia. Tetapi persoalannya sekarang minyak kita dikuasai asing, sehingga harga BBM di negeri kita mesti mengikuti harga minyak dunia.

Tak ada satupun parpol, baik di koalisi, oposisi maupun di DPR yang bicara tentang penguasaan sektor minyak juga semua sektor ekonomi. Mereka tak pernah mau bicara pangkal persoalan. Negara kita sudah tak berdaya lagi karena semua sektor ekonomi dikuasai pihak asing. Jatah negara juga malah diberikan ke perusahaan swasta. Akibatnya kekayaan negeri hanya dinikmati oleh segelintir orang. Indonesia sudah tak memiliki apa-apa lagi. Pemerintahan sudah dikuasi para politisi. Sosok negarawan sulit ditemukan di negeri kita. Sayang sekali, para politisi dan pejabat tak menyadari bahwa negeri ini semakin tak berdaya. Meski mereka tahu, tapi abai karena merasa nyaman dengan keadaan saat ini.

Persoalan koalisi yang ramai dibicarakan menjadi tontonan rakyat. Talk Show atau diskusi politik di berbagai stasiun TV menjadi sinetron alternatif. Politik adalah dramaturgi yang dimainkan para aktor politisi. Di layar kaca mereka berbicara rakyat, tapi di luar panggung mereka bekerja untuk diri sendiri, golongan dan pihak asing ditambah perusahaan swasta nasional.

Koalisi yang dibangun selama ini hanyalah koalisi transaksional, bukan koalisi kontruksional. Apakah jatah menteri pertanian yang selama ini selalu diberikan kepada PKS bisa meningkatkan produksi pertanian kita dan mensejahterakan petani? Kita malah sering impor beras, dan para petani semakin termarginalkan. Para petani dibiarkan hidup sendiri tanpa ada dukungan dari pemerintah. Pemerintah tak sadar, sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi. Pemerintah sering berbicara pola pertanian China dan Thailand, tapi tak pernah mengaplikasikannya. Rencana hanya menjadi ide, tapi tak pernah diimplementasikan.

1 komentar:

  1. betul setuju, sebagai rakyat saya jadi bingung kalau perhatikan koalisi, termasuk bingung ntar tahun 2014 harus pilih mana?

    BalasHapus