Kita tidak perlu menyalahkan Malaysia yang terus melakukan ekspansi perkebunan sawit di Indonesia. Yang salah adalah negeri kita sendiri karena tak bisa mengelolanya dengan baik. Banyak dari perkebunan sawit milik negara dijual ke perusahaan Malaysia. Dari 7 juta ha perkebunan sawit yang ada di Indonesia, 2 juta ha dikuasai Malaysia. Sementara BUMN katanya hanya menguasai 7,8%, perusahaan asing menguasai hampir 90%. Sisanya dikuasai swasta nasional dan perkebunan rakyat. Data yang saya ungkapkan di atas adalah data akhir tahun 2010 yang disebutkan oleh ekonom UGM Revrisond Baswir.
Adapun perusahaan asing lainnya Wilmar International Group (Singapora) memiliki lahan seluas 85.000 hektar, Hindoli-Cargil (AS) memiliki lahan seluas 63.455 hektar, Sipef Group (Belgia) memiliki lahan seluas 30.922 hektar. Data itu hanya contoh, masih banyak perusahaan asing lainnya yang menguasai lahan perkebunan sawit di Indonesia. Saat ini saja, perusahaan asing telah memiliki 40 juta ha lahan di Indonesia yang akan ditanami sawit. Sementara perkebunan sawit rakyat sering kali termaginalkan, dan sering kali terjadi konflik dengan perusahaan asing terutama dengan perusahaan Malaysia.
Dari perkebunan sawitlah Malaysia banyak menerima pendapatan negaranya. Dalam pengelolaan perkebunan sawit, kita masih belajar ke negara tetangga ini. Hal itulah yang menjadi efek positif bagi Indonesia yang belum mengenal teknologi perkebunan. Indonesia bisa menerima tranformasi teknologi perkebunan bila Malaysia dan perusahaan asing lainnya berinvestasi ke perkebunan sawit. Ini membuktikan, Indonesia telah tertinggal jauh dari berbagai bidang.
Data yang dikemukakan oleh Direktur Perencanaan dan Pengembangan PTPN III Chairul Muluk berbeda dengan yang disebutkan oleh Revrisond Baswir. Menurutnya perkebunan sawit yang dikuasai perusahaan asing 51% dari total perkebunan seluas 7 juta ha. Mungkin 51% tersebut mengatasnamakan perusahaan asing secara penuh, sedangkan sisa dari 90% adalah saham yang dimiliki perusahaaan asing pada perusahaan swasta nasional.
Pemerintah telah mencanangkan, tahun 2020 negara harus menguasai lahan perkebunan sawit seluas 10 juta ha. Tetapi jika melihat kondisi saat ini saja, banyak kalangan pesimis dengan rencana tersebut. Hal ini karena, perencanaan penguasaan perkebunan sawit tak sematang Malaysia. Untuk penguasaan perkebunan sawit, Indonesia mesti menguasai teknologi terlebih dahulu.
Kondisi negeri kita seperti kembali pada era pengalihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde baru. Semuanya mesti bergantung pada pihak asing. Sektor perkebunan saja mesti melibatkan pihak asing. Pantas saja negara tak pernah menguasai sendiri sektor pertambangan di Indonesia karena membutuhkan teknologi yang lebih tinggi lagi dari perkebunan.
Indonesia selalu kalah saing di kencah internasional. Di wilayah regional ASEAN saja sudah tertinggal jauh. Indonesia kalah dengan Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Beras yang seharusnya bisa diproduksi dalam negeri malah impor. Ikan yang seharusnya tinggal menangkap di laut sendiri malah impor, ikan asin pun Indonesia sering impor. Saya pikir, ini bukan persoalan teknologi saja.
Indonesia sepertinya akan tetap menjadi negara berkembang atau negara dunia ketiga. Jangan terlibat dulu dalam persaingan global jika belum kuat. Jangan terlibat dulu dalam perdagangan bebas jika belum mampu karena Indonesia belum memiliki keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif memang punya, tapi orang luar yang mengendalikannya. Akibatnya, Indonesia kehilangan keunggulan dengan percuma. Para intelektual dari Freedom Institute pimpinan Rizal Malarangeng yang sering menggembar-gemborkan perdagangan bebas tidak mengerti kondisi Indonesia sebenarnya. Saya menjadi curiga, apakah mulut mereka dibayar oleh asing. Bukankah sebelum sekolah di Amerika para intelektual dari Freedom Institute itu sangat nasionalis?
Indonesia harus menata ulang penguasaan sektor ekonomi. Penguasaan oleh pihak asing justru banyak merugikan para petani kecil, perkebunan rakyat, juga negara. BUMN yang seharusnya menghasilkan pendapatan negara serta memperbesar APBN, malah menjadi pengawal kepentingan perusahaan asing. Budaya yang terbentuk pada BUMN bukan budaya korporasi profesional, tapi budaya feodal dan birokrat. Akibatnya adalah BUMN tidak produktif, malah menjadi beban APBN. Semoga, BUMN yang saat ini dipimpin Dahlan Iskan bisa menjadi tulang punggung pendapatan negara.
BUMN merupakan departemen yang sangat strategis. Bumi dan laut Indonesia masih kaya dan bisa menghasilkan banyak uang. Jangan sampai perusahaan-perusahan negara menjadi minoritas di rumah sendiri dalam penguasaan sektor ekonomi. Sungguh miris, semua sektor ekonomi Indonesia yang potensial dan strategis dikuasai asing. Berapa banyak uang yang seharusnya menjadi milik Indonesia malah dibawa oleh pihak asing?
Oleh karena itu, isu penguasaan perkebunan sawit mesti kembali diangkat dalam momen isu rencana kenaikan BBM. Kaitan kedua isu tersebut sangat erat karena menyangkut subsidi yang diambil dari APBN. Perkebunan sawit bisa menjadi sumber penerimaan negara yang nantinya bisa mengatasi persoalan subsidi BBM. Dari pada kita sibuk dengan perdebatan BBM yang tak pernah menemukan titik solusi, lebih baik kita mengangkat isu penguasaan sawit dan kekayaan Indonesia lainnya demi melipatgandakan APBN Indonesia, mensejahterakan petani, dan memakmurkan rakyat.
Tulisannya bagus lho, Salam Kenal,
BalasHapusFlora Sawita
http://www.florasawita.com
Terima Kasih