Para nelayan sedang aksi di Hari Nelayan Nasional. |
Kondisi diperparah dengan kurangnya political will. Tengok saja Undang-undang kelautan sampai saat ini belum juga diketok palu oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Padahal UU ini sudah masuk ke Senayan sejak pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Tetapi, UU saja tidak cukup jika pemerintah masih berpaling dari nelayan. UU hanya akan menjadi goresan tinta di atas kertas putih saja jika nasib nelayan ditentukan oleh nelayan sendiri. Pemerintah saat ini hanya sebagai pengamat serta pencatat transaksi perdagangan ikan yang dilakukan industri perikanan swasta dan pengusaha multinasional dibanding sebagai aktor.
Indonesia yang terkenal sebagai negara maritim kini kurang merasa bangga terhadap kekayaan laut. Pemerintah tidak bangga kepada para nelayan. Saya tidak tahu, apakah sebutan negara maritim menjadi motivasi supaya mengoptimalkan potensi kelautan atau sekadar stempel. Yang jelas Indonesia masih menggantungkan persiadaan ikan dari impor. Selain itu, kontribusi kelautan Indonesia hanya menyumbang 22% dari produk domestik bruto (PDB), dari sektor perikanan masih di angka 3,5%. Sementara negara China, Korea dan Jepang yang luas lautnya separuh dari luas laut Indonesia kontribusi sektor kelautan terhadap PDB di atas 35%. Indonesia juga baru memanfaatkan 16% ikan laut dari potensi tiap tahunnya.
Pemerintah lebih banyak mengeluarkan energinya pada sektor-sektor di daratan. Sementara sektor kelautan dan perikanan dikesampingkan. Hal ini karena Indonesia selalu bergantung pada negara maju. Industri-industri daratan yang dikembangkan oleh negara maju menjadi tuntutan bagi Indonesia untuk melayani negara maju. Atau suatu kesengajaan dari negara tertentu agar ikan di perairan Indonesia bisa dicuri dan dijarah nelayan asing?
Pemerintah belum dapat mengoptimalkan kekayaan laut sebagai sumber pemasukan yang besar bagi negara demi kemakmuran bangsa. Padahal menurut Mantan Menteri Perikanan dan Kelautan Rokhmin Dahuri, potensi pendapatan negara yang bisa diperoleh dari kelautan sebesar Rp 7.200 triliun, enam kali lipat dari nilai APBN Indonesia. Sejak Indonesia merdeka 67 tahun silam, telah digariskan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Namun pemerintah belum mempergunakan kekayaan laut untuk kemakmuran rakyat. Laut kini hanya menjadi pemandangan dan pembuangan limbah pabrik.
Penyebabnya adalah karena nelayan tidak diberdayakan. Hal ini bisa dilihat dari peralatan yang digunakan sebagian besar masih tradasional. Perahu yang digunakan juga hanya untuk kapasitas kecil, sehingga wilayah tangkapan yang bisa dijangkau masih dekat dengan pesisir. Harga bahan bakar minyak masih memberatkan nelayan, bantuan yang diberikan pemerintah belum dapat membantu nelayan. Kredit bank yang memperumit nelayan juga menjadi persoalan, sehingga rentenir-rentenir bergentayangan menghantui para nelayan. Dengan kondisi seperti itu, hasil tangkapannya hanya untuk kebutuhan sehari-hari mereka.
Nelayan adalah pemilik sah laut karena mereka hidup dan dibesarkan di pesisir laut. Mereka mendiami wilayah perairan dan menerima warisan berupa laut beserta kekayaan yang ada di dalamnya dari nenek moyang mereka. Ikan adalah tangkapan utama mereka. Tanpa itu, mereka akan kehilangan jati diri dan penghidupan. Jika cuaca buruk, mereka tak dapat memenuhi kebutuhannya karena tak bisa melaut. Mereka bisa melaut di saat cuaca mendukung. Berbeda jika peralatan dan teknolonogi yang digunakan memadai tentu bisa mendapatkan tangkapan lebih banyak. Kontribusi terhadap PDB pasti akan naik.
Karena laut tersebut berada di wilayah kekuasaan negara Indonesia, maka pemerintah bertanggung jawab penuh atas semuanya. Nelayan pun menyerahkan haknya kepada pemerintah supaya laut (perikanan) dapat dikelola secara optimal. Pemerintah bukannya mengelola dengan optimal, malah membiarkan industri swasta bersaing dengan para nelayan. Celakanya, kesejahteraan nelayan tidak terangkat dan angka kemiskinan nelayan semakin meningkat. Dari data tahun 2010 yang dilaporkan Bank Dunia, kemiskinan Indonesia mencapai angka 100 juta jiwa dari total penduduk sebanyak 237 juta jiwa. Nelayan penyumbang terbesar angka kemiskinan tersebut.
Mungkin para nelayan merasa kehidupannya sudah tercukupi. Dengan ketercukupan itu mereka merasa bahagia. Tetapi sebagai pemilik kekayaan laut yang begitu besar, itu belum bisa dikatakan layak. Tanggung jawab dan peran pemerintah terhadap kesejahteraan nelayan harus seimbang dengan kekayaan laut yang dimiliki. Angka kemiskinan versi pemerintah yang katanya selalu turun dari tahun ke tahun juga belum bisa dikatakan wajar jika kekayaan yang tertanam tidak seimbang dengan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Jika pemerintah belum juga memberdayakan nelayan, maka harus ada peran dari kalangan tertentu seperti mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kalangan tersebut harus benar-benar murni memberdayakan nelayan, bukan mencari keuntungan ekonomi ataupun proyek. Peran pengusaha besar kurang bisa dipercaya karena hanya mencari keuntungan semata yang ujung-ujungnya nelayan menjadi objek yang dimanfaatkan. Bank tentu masih sedikit yang mau menggelontorkan kreditnya karena nelayan dianggap tidak prospektif. Bank hanya mau memberikan kreditnya kepada industri swasta besar.
Oleh karena itu, peran mahasiswa, LSM ataupun masyarakat sipil lainnya dapat membantu berbagai kebutuhan nelayan dalam melaut, seperti model usaha, penggunaan peralatan atau teknologi, dan pencarian modal untuk semua itu. Peran mahasiswa misalnya memiliki tanggung jawab sebagai bagian tugasnya dari tri dharma perguruan tinggi. Dengan adanya kerja lapangan dan kuliah kerja nyata pada lingkungan nelayan, bisa diarahkan pada pembedayaan nelayan.
Peran LSM saat ini jangan hanya mencari proyek saja dalam pemberdayaan masyarakat. LSM mesti benar-benar murni membantu masyarakat nelayan dalam meningkatkan produksi perikanan. LSM bisa membantu dalam membuat model usaha yang semestinya dilakukan nelayan. Penyuluhan dalam penggunaan alat dan teknologi mesti diberikan supaya tidak kalah dengan nelayan negara lain.
Tentunya peralatan dan teknologi tersebut membutuhkan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, mesti ada pihak yang diminta bantuan. LSM bisa melakukan hal itu dengan cara meminta kepada pemerintah daerah (Pemda) demi kelangsungan ekonomi. Pemda harus disadarkan bahwa nelayan merupakan pintu perekonomian daerah, nelayan juga adalah pintu pendapatan daerah. Di sinilah ujian yang mesti dihadapi LSM karena akan melibatkan dana. Dana ini tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun kecuali untuk pemberdayaan nelayan.
Bila peran mahasiswa dan LSM ini berhasil memberdayakan nelayan, juga sebagai pintu perekonomian Pemda, kemungkinan besar pemerintah akan memberikan perhatian serius kepada nelayan. Efek positifnya bukan hanya pada kesejahteraan nelayan saja, tapi kekayaan laut sebagai penyumbang terbesar dalam pendapatan negara. Pemanfaatannya adalah untuk kemakmuran bangsa. Derajat nelayan di mata bangsa pun akan terangkat.
Bagaimana bisa gan? sedangkan para pejabat aja belum makmur2. soalnya masih banyak pejabat yang suka makan duit haram, berarti gak makmur kan?he
BalasHapussalam kenal gan, jangan lupa berkunjung dan berkomentar juga di blog saya
ayam bangkok aduan Live terbesar di indonesia hanya di AGEN BOLAVITA
BalasHapusYuk Coba Pengalaman Taruhan Live Casino Online Terbaik Dan Terlengkap !
Bonus Rollingan Terbesar s/d IDR 500.000.000,- Bonus 10% New Member Hanya Di Bolavita.
Bonus Casino Live Komisi Rollingan 0.5% + 0.7% Setiap Minggu Hingga Ratusan Juta.
Bonus Ini Diberikan Pada Pemain Casino Baik Menang ataupun Kalah.
Daftar Sekarang Juga Di Website www. bolavita. site
Info Lengkap Hubungi Customer Service Kami ( 24 JAM ONLINE ) :
BBM: BOLAVITA
WeChat: BOLAVITA
WA: +62812-2222-995
Line : cs_bolavita