Rasanya kita sudah lama menghirup udara bebas. Sudah 14 tahun rakyat merasakan kebebasan dari tirani rezim Soeharto. Tetapi sebagian dari mereka merindukan kehadiran sosok pemimpin semacam Soeharto. Kesejahteraan adalah alasan utama kerinduan tersebut. Meskipun merasakan sedikit kesejahteraan, tapi masih jauh dari kelayakan bagi sebuah negeri yang memiliki kekayaan melimpah. Mungkin sebagian besar dari kita bosan atau imun dengan istilah kekayaan negeri yang melimpah, tapi itu adalah kenyataan. Indonesia belum berdaulat atas semua itu, sehingga dengan bangganya ”mengimpor” tenaga-tenaga asing yang dianggap profesional.
Soeharto hanya tegas kepada bawahannya. Soeharto hanya bisa galak kepada rakyatnya saja. Tetapi kepada asing dia tidak tegas juga tidak galak. Dia punya tim ekonomi pimpinan Widjojo Nitisastro. Seorang aktivis kiri baru dari Amerika Serikat yaitu David Ransom menyebutnya Mafia Berkeley. Sebutan mafia berkeley dikupas oleh David Ransom dalam majalah bernama Ramparts tahun 1970 karena tim ekonomi tersebut lulusan sekolah di Berkeley Amerika Serikat atas bantuan negeri Paman Sam itu.
Ceritanya, tim tersebut membawa banyak perubahan dalam perekonomian nasional. Inflasi bisa ditekan, padi yang tadinya gagal panen kini sudah tidak lagi. Angka kemiskinan juga bisa dikurangi. Widjojo sendiri mendapat julukan sebagai arsitek ekonomi Indonesia. Kebijakannya sangat Amerika karena dididik oleh Amerika. Jika ilmu ekonominya dari Amerika, maka pemikiran dan tindakan ekonominya menggunakan gaya ekonomi Amerika dalam hal ini adalah Barat. Kalaupun tidak, pasti untuk kepentingan Amerika.
Benar juga, kita menggunakan gaya Barat. Padahal kita punya gaya sendiri. Bukan sekadar gaya, tapi sistem dan pijakan. Dengan gaya ekonomi barat, mereka hanya bisa menyelesaikan persoalan ekonomi jangka pendek. Akhirnya sistem ekonomi yang dijalankan tidak sesuai dengan kepentingan kita. Faktanya terasa sampai sekarang, pemerintah terus mengurangi subsidi BBM yang berakibat naiknya harga BBM diiringi dengan kenaikan harga kebutuhan pokok dan bukan pokok.
Padahal sumur yang digali oleh Amerika di negeri kita adalah milik kita, hak kita. Jika kita menggali sendiri, tentunya subsidi BBM tidak akan dikurangi. ”Pemerintah tidak pernah mengurangi subsidi BBM, malah menambah.” Itu dalihnya karena menyebutkan angka dan hitung-hitungan akuntansi. Rakyat kebanyakan tidak kenal akuntansi. Angka itu hanya logika matematika, bukan logika sosial.
Hidup di Indonesia tidak akan lepas dari mekanisme pasar. Angka subsidi BBM boleh naik, tapi kenaikannya tidak sebanding dengan harga pasar minyak. Indonesia penghasil minyak, tapi juga pengimpor minyak karena minyak yang digali di Indonesia dibawa oleh asing ke pasar dunia, sehingga Indonesia harus membeli lagi minyak tersebut dengan harga pasar. Saat harga pasar minyak naik, angka subsidi pun ikut naik. Beda lagi ceritanya kalau kita sendiri yang menguasai. Dalam artian Indonesia yang melakukan eksplorasi alias menggali, Indonesia yang mengolah, dan Indonesia juga yang mendistribusikan di negeri sendiri. Urusan asing (Amerika) punya minyak atau tidak itu bukan urusan kita. Cari saja sumur di tanah sendiri yang kira-kira terkandung minyak di dalamnya untuk digali. Jika ada kelebihan dalam negeri, Indonesia bisa mengekspor. Justru dengan kenaikan harga minyak dunia, Indonesia seharusnya diuntungkan dari ekspor minyak tersebut.
Bukan hanya minyak, pertambangan yang lainpun seperti itu seperti batu bara, emas, timas, bijih besi dan lain-lain. Penggarapan listrik juga bukan oleh negara, tapi perusahaan swasta dan asing. Akibatnya bahan baku didatangkan dari luar dan kita selalu bergantung kepada pihak asing. Pemerintah malah menyerahkannya ke swasta, baik swasta nasional maupun asing. Bayangkan, jika semua pertambangan termasuk kekayaan hutan dan lautan negara sendiri yang mengelola, mungkin saja negara kita tidak perlu memungut pajak lagi. Kalaupun memungut juga tidak tinggi. Tentunya sumber APBN sebagian besar dari pertambangan dan kekayaan alam lainnya, bukan dari pajak lagi.
Mafia Berkeley tidak memetakan hal tersebut karena bertentangan dengan Amerika dan negara asing lainnya. Percuma disekolahkan di Berkeley tapi tidak memenuhi kepentingan negara 'jahannam' tersebut. Minyak Indonesia hak rakyat Indonesia, kita berhak menikmatinya dengan mudah dan murah. Banyak pihak menyebut, negara kita salah kelola. Tapi saya memandang, persoalan politik lah yang menyebabkan semuanya, baik politik di dalam maupun hubungan dengan luar negeri. Pengelola negara kita tidak bisa mengatakan ’tidak boleh’ kepada Amerika dan negara asing lainnya.
Penguasaan pertambangan, hutan, laut dan lainnya bisa dipegang sendiri jika Indonesia kata Tan Malaka itu merdeka 100 persen. Soekarno melakukan sebuah revolusi karena ingin membendung pengaruh Amerika dan negara asing lainnya. Makanya Soekarno banyak menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia kala itu. Terbayang oleh Soekarno, bahwa suatu saat nanti kita yang mengelola pertambangan minyak, emas, timah, besi dan kekayaan lainnya. Kita yang melakukan eksplorasi dan kita juga akan punya pabrik untuk mengolahnya menjadi barang-barang itu yang memiliki harga dan nilai.
Sayang sekali, ’Revolusi belum selesai,’ kata Soekarno. Dan memang tidak pernah selesai sampai sekarang meski negara ini sudah berusia 66 tahun 7 bulan. Kita belum berdaulat. Negara Indonesia belum dapat menentukan arah sendiri. Para nahkodanya selalu mabuk laut, kadang pula terbuai dengan lautan sehingga tidak mengetahui ke mana arah kapal ini menuju dan di mana akan berlabuh. Kita berharap para awak dalam kapal ini bukanlahlah komplotan perompak.
Indonesia harus berani berkata kepada Amerika dan Asing, ’Jangan ganggu wilayah kami, jangan ganggu pertambangan kami, jangan ganggu hutan kami, jangan ganggu laut kami, jangan ganggu usaha kami, kami bisa urus sendiri, urus saja urusanmu.’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar