Rudini Sirat

Saha Maneh Saha

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Nomor kontak saya 085721653609. info lengkapnya di http://www.facebook.com/rud.tankian/info

Sabtu, 31 Maret 2012

Akibat dari Berbagai Keadaan



Awalnya demonstrasi terkait kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang akan diberlakukan pada 1 April 2012 dilakukan oleh para mahasiswa. Kini demontrasi semakin meluas, jumlahnya semakin banyak, dan pihak yang terlibat dalam demonstrasi dari berbagai unsur. Kalangan buruh, sopir angkot, aktivis LSM, hingga partai oposan semacam PDIP turun ke jalan menolak kenaikan harga BBM. Demonstrasi merupakan luapan protes masyarakat dari suatu keadaan negeri yang merugikan rakyat. Cara tersebut dilakukan karena suara-suara masyarakat tidak pernah didengar pemerintah di ruang publik lain.

Orang kota yang mengaku seorang intelektual malah mencibir para demonstran. Partai Demokrat menganggap demo merupakan luapan emosi masyarakat yang tak berdasarkan logika. Tetapi, pemerintah ketakutan. Tengok saja jumlah aparat yang dikerahkan, mencapai angka 22.000 personel. Padahal jumlah demonstran tidak melebihi jumlah aparat yang diturunkan. Yang terkesan berlebihan dari tindakan pemerintah adalah penglibatan Tentara Nasional Indonsia (TNI). Dengan congkaknya mereka mengendarai tank di jalanan untuk menghalau demo. Tujuannya, menyeimbangkan kekuatan para demonstran.

Kita tidak boleh menyepelekan demonstrasi. Itu adalah kekuatan besar yang dimiliki rakyat. Dalam istilah Tan Malaka adalah aksi massa. Sebuah negeri yang telah melakukan perubahan termasuk revolusi adalah dengan aksi massa. Sejarah telah mencatat semuanya. Ada beberapa catatan keadaan negeri Indonesia terkait persoalan BBM. Artinya, bagi saya demonstrasi tersebut bukan sekadar menolak kenaikan harga BBM.

Pertama, subsidi BBM adalah hak milik rakyat. Pemerintah saat ini selalu berpikir teknis atau praktis dan pragmatis, sehingga kebijakannya pun sangat praktis dan pragmatis. Subsidi BBM merupakan kewajiban pemerintah dan hak rakyat. Pemerintah tidak berpikir tentang subsidi secara filosofis. Akibatnya, subsidi BBM dirasa menjadi beban negara.

Bukankah alasan pemerintah menaikan harga BBM karena merasa terbebani dengan subsidi yang berakibat pada kekhawatiran APBN akan jebol? Hal ini karena harga minyak dunia tengah melambung tinggi. Tahun 2011 subsidi BBM sebesar Rp 164,7 triliun dengan harga Rp 4.500 per liter. Jika tahun 2012 ini pemerintah mempertahankan harga Rp 4.500 per liter, maka subsidi yang harus digelontorkan sebesar Rp 178 triliun. Pemeritah SBY pun merubah angka Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 supaya subsidi bisa dikurangi menjadi Rp 137 triliun.

Justru dari perhitungan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat selisih sebesar Rp 30 triliun jika harga BBM tidak naik. Dari perhitungannya subsidi BBM bukan Rp 178 triliun, tapi Rp 148 trliliun bila tidak terjadi kenaikan harga BBM.  Seandainya pemerintah membatalkan kenaikan harga BBM, ke mana Rp 30 triliun itu nantinya? Selain pemerintah melakukan mark-up, ICW menilai ada permainan politik dalam skenario kenaikan harga BBM.

Anehnya lagi, pemerintah mengulangi kesalahan kembali yang bagi Partai Demokrat dianggap sukses politik, yaitu memindahkan anggaran subsidi BBM pada BLT (bantuan langsung tunai) atau BLSM (bantuan lansung sementara masyarakat) yang besarannya belum ditentukan. Bantuan semacam itu justru bukan bagian pokok dari kewajiban negara.

Kedua, adalah kehidupan rakyat semakin rumit. Tengok saja jumlah pengangguran di negeri ini. Tengok pula angka kemiskinan secara real, bukan nominal. Tengok pula jumlah anak-anak Indonesia yang hidup di jalanan. Tengok upah minim yang diterima para buruh. Tengok lagi nasib para guru honorer. Tengok anak-anak kita yang tak bisa mengenyam pendidikan secara merata. Tengok pula jumlah TKI yang mengadu nasib di negeri orang yang disebut sebagai pahlawan devisa—penyumbang devisa terbesar kedua di Indonesia—tapi tak pernah memperoleh perhatian serius dari pemerintah. Itu semua menunjukkan bahwa rakyat terus-menerus menghadapi kehidupan yang rumit. Tentu saja pesoalan tersebut akan berdampak terhadap kehidupan sosial. Ditambah saat ini harga BBM dinaikan, kehidupan rakyat akan tambah rumit.

Ketiga, salah kelola sumber kekayaan negara. Saat ini, konsumsi BBM kita sekitar 1,3 juta barel per hari. Meskipun produksi minyak dari sumur di Indonesia sekitar 903 ribu barrel per hari, tapi bagian Indonesia 600 ribu barrel per hari. Sisanya harus impor dengan membayar harga pasar minyak dunia. Adapun cadangan minyak Indonesia pasti semakin menurun. Menurut seorang ekonom Indonesia Kwik Kian Gie, baik dalam tulisan-tulisannya maupun dalam acara debat di MetroTV pada 8 Maret 2012, sebenarnya Indonesia kelebihan uang tunai alias surplus dari harga jual BBM jika semua sumur minyak di Indonesia dikelola sendiri.

Betapa tidak, dari jumlah sumur minyak yang ada di perut bumi Indonesia, kurang lebih 90% dikelola oleh asing. Padahal Indonesia sudah merdeka sejak 67 silam. Amerika Serikat adalah pengeksploitasi terbesar dengan beberapa perusahaannya yang beroperasi di Indonesia, seperti Chevron dan Exxon Mobil. Kontrak pengeboran minyak dengan asing selalu diperpanjang. Tentu saja penyerahan pengelolaan kepada asing sudah berada di luar kepentingan Indonesia.

Pemerintah terlalu takut dan khawatir Indonesia akan diembargo dan tak memperoleh bantuan dari negara yang punya kepentingan terhadap Indonesia. Apa peduli kita terhadap negara-negara itu, toh kita memiliki semuanya. Seharusnya posisi dan daya tawar Indonesia lebih tinggi di hadapan mereka. China saja dengan tegas dan beraninya terus membatasi ekspor Logam Tanah Jarang (bahan baku untuk pembuatan teknologi tinggi) ke Amerika, Eropa dan Jepang meski harus mendapatkan gugatan melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Keempat, roda pemerintahan di Indonesia dijalankan oleh para politisi, bukan sosok negarawan. Pola pikir politisi itu hanya mengejar target dari investasi politik yang ditanamnya, sehingga program-programnya jauh dari kepentingan nasional. Modal politik yang telah dikeluarkannya mesti kembali. Mereka hanya menjalankan pemerintahan tanpa melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Persoalan-persoalan pokok tidak pernah terselesaikan. Jika mereka merasa sudah memberikan sesuatu untuk negerinya, dianggap prestasi. Padahal itu adalah kewajibannya. Dengan demikian, program-program yang dibuatnya bersifat jangka pendek, tidak pernah berpikir untuk masa depan negeri. Hal ini karena mereka tak memiliki visi.

Kelima, korupsi yang merajalela. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan para politisi di DPR dan pejabat di pemerintahan menjadikan masyarakat muak kepada pemerintah. Duit yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat justru diambil demi kepentingan diri dan golonga. Kebiasaan para dewan rakyat yang seharusnya mewakili kepentingan rakyat justru dijadikan mesin uang. Jika pemerintah bisa memberantas korupsi, tentu uang tersebut bisa dialokasikan ke subsidi BBM.

Keenam, pemerintah telah melanggar konstitusi UUD 1945 pasal 33 terkait kesejateraan sosial. Salah satunya adalah BBM pada ayat 3 yang berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Arti dikuasai disini sangat jelas, mulai dari penggalian sampai distribusi dilakukan oleh negara tanpa menyerahkannya kepada perusahaan asing. Pemerintah belum bisa memberikan kemakmuran kepada rakyat karena tidak pernah menjalankan isi dari konstitusi tersebut.

Ketujuh, gembar-gembor mencari energi alternatif dan pengalihan BBM ke bahan bakar gas hanyalah bentuk pengalihan isu. Pemerintah tidak serius karena penuh nuansa politis. Jika memang serius, tentu tidak harus dilakukan pada saat dalam keadaan krisis seperti ini. Jauh-jauh hari sudah dibuatkan skemanya.

Jika keadaan negeri tidak berubah seperti catatan-catatan di atas, maka wajar rakyat harus melakukan demonstrasi atau aksi massa. Suatu saat, mungkin Indonesia akan mengalami sebuah revolusi. Mengutip dari bukunya Tan Malaka berjudul Aksi Massa, “Revolusi bukanlah suatu pendapatan otak yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa.” Tetapi, “Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai keadaan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar