Bahkan, saat ini kemajuan ekonomi Amerika Serikat tersalip. Tengok pula hutang Amerika kepada China. Produk-produk China pun membanjiri negeri Paman Sam. Anggaran militernya juga melebihi Amerika dan negara maju lainnya. Tahun ini saja anggaran militernya naik 11,2% hampir US$100 miliar atau setara dengan Rp 908,4 triliun, meski menuai banyak komentar negatif dari negera-negara maju. Terutama Jepang sebagai negara tetangganya dan negara yang pernah menduduki China. Padahal biasanya China menganggarkan US$740 miliar setiap tahun untuk pertahanan. Kemajuannya pula berkat edukasi yang ditanamkan pemimpin China terhadap rakyatnya.
Lompatan yang dilakukan China tak bisa dilepaskan dari model dan strategi Deng Xiaoping. Tetapi kemajuan yang diraihnya bukan semata berasal dari Deng Xiaoping. Jiwa positif serta kultur yang dimiliki bangsa China—confidence alias percaya diri—yang membuat China mengakhiri ketertinggalan. Deng Xiaoping pernah menyampaikan hal itu dalam pidatonya di hadapan rakyat China.
Belum pantas rasanya jika harus membandingkan dengan Indonesia, bangsa saya sendiri. Indonesia belum bisa melakukan terobosan. Pemimpin Indonesia tak memiliki confidence yang menular pula terhadap rakyat atau bangsanya. Mungkin bukan menular, tapi itulah karakter bangsa Indonesia. Kita lebih bangga dan percaya terhadap ide dan produk luar. Produk dan ide kita tak diakui oleh bangsa sendiri. Sungguh miris. Padahal Soekarno berkali-kali menegaskan, Indonesia adalah bangsa yang besar. Tak berpengaruh sama sekali, hanya dianggap sebagai retorika.
Pendidikan berstandar internasional, salah satu model yang bisa membuat bangsa Indonesia bertambah tergantung terhadap ide luar. Itu juga menjadi bagian dari ciri bangsa Indonesia. Kita lebih percaya dengan model luar karena model pendidikannya dianggap berkualitas, dari negara maju. Indonesia hanya negara berkembang (negara dunia ketiga) yang harus menggunakan ide yang terjamin standar kualitasnya. Indonesia pun menjadi negara yang memiliki ketergantungan terhadap negara maju. Inilah yang disebut dengan dependensi. Kita tidak percaya dengan standar pendidikan nasional. Padahal pendidikan nasional disusun berdasarkan nilai dan budaya Indonesia.
Saya ambil contoh dari seni Indonesia yang dianggap oleh bangsanya sendiri sebagai seni tradisional. Penyebutan tradisional identik dengan kuno dan ketinggalan jaman. Seharusnya jangan ada istilah tradisional. Kenapa tidak menyebutnya sebagai seni Indonesia saja. Kita memilikinya, tapi negara seperti Amerika dan Eropa belum tentu . Dengan pengotakan seperti itu, bangsa Indonesia lebih memilih seni yang diimpor dari negara yang dimaksud karena kita selalu bergantung. Seni yang dibawa dari negara tersebut dianggap sesuai dengan jaman atawa modern.
Menurut teori depedensi yang lahir dari Amerika Latin, ketertinggalan yang dialami negara dunia ketiga seperti Indonesia bukan semata dari faktor internal. Faktor eksternal dengan adanya intervensi asing membuat kita selalu bergantung, membuat kita selalu tidak percaya diri, dan hanya percaya kepada negara maju. Kita dibuat tertinggal dengan model dan gagasan yang disodorkan, bahkan dicekoki oleh negara maju. Apalagi bidang yang menjadi ketergantungan tersebut adalah pendidikan.
Dengan demikian, yang terbangun dari pendidikan berstandar internasional tersebut bukan berdasarkan atas kepentingan kita, tapi menjadi kepentingan negara yang diacu. Tidak sadarkah bahwa sistem pendidikan yang mereka sodorkan berpengaruh terhadap kepentingan politik dan ekonomi mereka?
Tahun 1925, saat tokoh-tokoh lain belum memikirkan sistem dan program yang harus dilaksanakan Indonesia, Tan Malaka sudah menyusunnya melalui brosur yang berjudul Naar de 'Republiek Indonesia'. Dalam bidang pendidikan, programnya yaitu:
Pertama, Wajib belajar bagi anak-anak semua warga negara Indonesia dengan Cuma-Cuma sampai umur 17 tahun dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang terutama. Kedua, Menghapuskan sistem pelajaran sekarang dan menyusun sistem yang langsung berdasarkan atas kepentingan-kepentingan Indonesia yang sudah ada dan yang akan dibangun. Ketiga, Memperbaiki dan memperbanyak jumlah sekolah-sekolah kejuruan, pertanian, dan perdagangan dan memperbaiki dan memperbanyak jumlah sekolah-sekolah bagi pegawai-pegawai tinggi di lapangan teknik dan administrasi.
Program yang disusun Tan keluar dari pemikirannya berdasarkan kondisi internal dan eksternal. Tan Malaka ingin membangkitkan rasa percaya diri bangsa Indonesia melalui sistem pendidikan. Jika Tan mendasarkan pada kepentingan-kepentingan Indonesia, berarti sistem dan modelnya pun harus nasional Indonesia. Kita belum membangkitkan rasa percaya diri. Di tanah pertiwi ini tersimpan segala macam kekayaan, maka pendidikannya mesti berdasarkan kepentingan kita.
Budaya bangsa Indonesia akan terus tergerus jika tak percaya dengan model kita. Deng Xiaoping mengklaim, sosialisme yang diterapkan China merupakan sosialisme yang disesuaikan dengan budaya China. Moderninasi China yang dilaksanakannya merupakan modernisasi yang pernah dibangun oleh China berabad-abad lamanya. Dan kita juga memiliki semuanya. Tetapi kita malah meninggalkannya, dan kekayaan alam kita malah diserahkan kepada asing. Sistem dan model pendidikan bangsa sendiri kita tanggalkan demi mengenakan model asing.
oke terima kasih. saya juga sangat menyukai tentang alam Indonesia.
BalasHapusmenurut q untuk menjadikan bangsa yang maju Indonesia harus mementingkan:
BalasHapus1.) Pendidikan
2.) Kesehatan
3.) Ketahanan Pangan
ya benar kita seharuznya mencintai budaya indonesia....masa ideologi jg mau dijajah siehhh
BalasHapus