Rudini Sirat

Saha Maneh Saha

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Nomor kontak saya 085721653609. info lengkapnya di http://www.facebook.com/rud.tankian/info

Jumat, 16 Maret 2012

Masyarakat Kredensial


Apa yang terjadi jika suatu organisasi usaha mengeluarkan produk banyak tapi tak diimbangi dengan permintaan? Apa pula jadinya jika di pasar kelebihan produk, apakah produk tersebut masih memiliki harga? Bagi pengusaha yang berpengalaman, tentu sudah mengukur berapa banyak yang harus diproduksi sesuai dengan permintaan pasar. Tetapi bagi pengusaha pemula, dia hanya bisa menduga-duga. Meski begitu, dia akan mempertimbangkannya dengan riset pasar.

Dewasa ini, hampir semua lembaga non-profit termasuk pendidikan telah menggunakan sistem, logika dan filosofi korporat. Tengok saja di LPTK terdapat jurusan manajemen pendidikan. Kurikulumnya disusun yang mengacu pada manajemen bisnis. Para dosen mengajarkan pelajaran yang hampir sama dengan pelajaran di manajemen bisnis.

Perguruan tinggi (PT) terutama kini tangah berlomba-lomba menarik para pelanggan. Mereka menyediakan berbagai fasilitas pendukung sebagai daya tariknya. Tak lupa pula dengan jor-jorannya memasang iklan. Berbagai media dengan harga yang beragam dimanfaatkan sebagai media persuasi. Tujuannya supaya penonton atau pembaca mengenal program studi yang ditawarkan PT.

Jika memiliki duit banyak, pengelola PT rela merogoh kocek lembaga berratus-ratus juta hingga miliaran rupiah. Jika anggarannya kecil, mereka memasangnya di media cetak. Jika tak ada anggaran, cukup dengan brosur atau pamflet. Semua itu bertujuan untuk menarik calon mahasiswa yang sangat membutuhkan ijazah.

Sekarang jamannya legalitas, perusahaan mencari karyawan berijazah S1 atau juga S2. Untuk posisi tinggi, perusahaan akan mencari yang berijazah S3. Di era legalitas yang dibuktikan dengan dokumen berbahan kertas, kompetensi seseorang diukur dengan ijazah, sertifikat, lisensi, dan lainnya.

PT pun membuat ijazah sebanyak-banyaknya. Sertifikat dicetak demi peningkatan kompetensi. Jumlah sarjana membludak. Mereka memburu perusahaan atau lembaga tertentu menawarkan diri dengan menunjukkan ijazah mereka. Ternyata, banyak sekali sarjana yang tak tertampung di dunia kerja. Mereka pun menganggur, tak tahu apa yang mesti dikerjakan. Para sarjana akhirnya menyadari, ijazah yang selama ini diperjuangkannya tak berarti.

Para sarjana yang lain mencari pekerjaan yang tak ada sangkut pautnya degan kompetensi yang tertera pada ijazah. Pekerjaan yang digelutinya tak pernah diajarkan di bangku kuliah. Mereka pun menyadari, ilmu yang dipelajari selama 4 sampai 7 tahun itu hanya wawasan dan pengetahuan. Jika seperti itu, tak perlu cape-cape kuliah. Cukup saja membeli banyak buku lalu baca di rumah atau di taman, atau mungkin di toilet. Tak ada yang mengawasi. Tak perlu cape mengerjakan tugas dari dosen. Tak ada pula ujian. Tapi mau bagaimana lagi, nasib hidup kita ditentukan ijazah serta sertifikat.

Seorang guru belum bisa dikatakan profesional jika tak memegang sertifikat. Seorang karyawan belum bisa dikatakan mampu bekerja jika tak mengantongi ijazah. Seseorang tak akan becus  mengurusi organisasi, baik profit maupun non-profit jika tak bertitel. Semuanya dibuktikan dengan dokumen. Jika tak ada, kerjaannya bisa kacau. Seorang dosen bisa disebut pakar jika sudah mendapatkan titel profesor yang dibuktikan dengan dokumen legal. Kemampuan melakukan penelitian pun diragukan. Alih-alih, hasil penelitiannya karya orang lain. Dia pun dicap sebagai plagiator.

Realitas seperti itu dinamakan oleh sosiolog ternama dari University of Pennsylvania, Randall Collins, sebagai masyarakat kredensial. Kredensial merupakan serapan dari bahasa inggris, yaitu credential yang artinya mandat. Bila diartikan secara terminologi, kredensial merupakan  dokumen tertulis untuk menunjukkan kompetensi seseorang dan sebagai pembuktian seseorang terhadap pekerjaan yang khusus.

Konsep masyarakat kredensial disusun oleh Randall Collins dalam bukunya berjudul The Credential Society: A Historical Sociology of Education and Stratification (1979). Judul tulisan ini juga saya mengutip dari judul bukunya. Saya belum pernah melihat buku tersebut, apalagi membacanya. Saya mengetahuinya setelah membaca artikel berjudul “Pendidikan Cepat Saji” di harian kompas terbitan 15 Maret 2012. Artikel tersebut ditulis oleh Udiansyah, seorang Anggota Dewan Riset Nasional.

Randall Collins. (lesandrist.weebly.com)

Dilihat dari judul kecilnya, buku tersebut menjelaskan bahwa pendidikan formal merupakan awal dari proses stratifikasi sosial. Menurutnya, pendidikan merupakan komoditas yang bernilai tinggi sebagai alat menuju kesuksesan ekonomi dan meningkatkan stratifikasi sosial individu.

Seseorang harus menempuh pendidikan formal terlebih dahulu jika ingin gaji dan tunjangannya naik. Karyawan yang ingin memperoleh promosi jabatan mesti sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Lembaga pendidikan pun berlomba menawarkan jasa tersebut. Katanya, jika hasilnya ingin berkualitas mesti sekolah ke Amerika atau Eropa. Tak hanya gaji dan tunjangannya yang naik, stratifikasinya pun ikut naik.

Untuk menjadi dosen saat ini harus berpendidikan minimal S2. Diapun berjuang melanjutkan pendidikan formalnya. Tujuannya supaya diterima menjadi dosen dan bisa menerima gaji dan tunjangan. Jika tunjangannya ingin naik, dia mesti bergelar profesor. Untuk menjadi guru besar tentunya harus sekolah dulu program doktoral. Setelah menerima gelar doktor dia berusaha untuk memperoleh posisi guru besar dengan gelar profesor. Tujuannya apalagi kalau bukan menaikkan tunjangan yang begitu tinggi dan menaikkan stratifikasinya.

Begitu pula dengan para guru, melakukan hal yang sama sesuai dengan ketentuan. Hanya dengan menempuh pendidikan formal semuanya bisa diatasi. Lembaga yang menyediakan hal itu adalah perguruan tinggi. Insitut dan universitas diuntungkan secara ekonomi. Jika output-nya bagus, berpengaruh pula terhadap cost pendidikan formal. Stratifikasinya pun naik level. Fenomena seperti itu memunculkan ejekan dari para kritikus. Lahirlah istilah creeping credentialism atau kredensialisme merangkak. Seseorang harus merangkak kembali di perguruan tinggi. Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar