Perbincangan terkait perempuan dengan tenaga kerja dan ekonomi saat ini merupakan momentum yang tepat. 8 Maret 2012 merupakan hari perempuan internasional yang ke 101, sebentar lagi kaum perempuan yang peduli dengan nasibnya akan memperingati hari tersebut. Oleh karena itu, saya ingin membicarakan tiga hal dalam kaitan ini yaitu persoalan TKW di luar negeri, buruh perempuan di Indonesia, dan perempuan Indonesia menjadi wirausahawati mikro. Bagi saya, perempuan adalam manusia hebat, lebih hebat dan mulia dari pada kaum laki-laki. Perempuan lebih bertanggung jawab terhadap keluarganya. Rasa egois tidak mendominasi dirinya dibanding laki-laki. Upah yang diterima tidak dipergunakan untuk kepentingannya sendiri. Bahkan perempuan bisa terhindar dari sifat koruptif.
Persoalan perempuan dengan ekonomi memang tak akan pernah selesai selama pemerintah dan para korporat/bankir terus menutup mata terhadap potensi yang dimiliki kaum perempuan. Meskipun pemerintah memberikan perhatian terhadap perempuan dengan adanya Departemen Pemberdayaan Perempuan, tapi persoalan tersebut seolah tak pernah terselesaikan. Lihat saja “ekspor” TKW ke negeri Jiran dan Arab tak pernah berhenti. Meskipun Indonesia kini memberlakukan moratorium terhadap pengiriman TKW ke negeri Arab karena banyak kasus yang menimpa TKW, tapi bukanlah cara yang tepat dalam mengatasi persoalan. Hal ini justru bisa meningkatkan pengiriman TKW ilegal. Ingat, bahwa Indonesia dikenal sebagai “pengekspor” TKW terbanyak di dunia. Negara yang kena moratoirum juga membutuhkan tenaga kerja dari Indonesia.
Perempuan mencari pekerjaan di negeri orang karena terhimpit dengan lapangan pekerjaan di negeri sendiri. Mereka tidak memperoleh perhatian serius dari pemerintah. Kalaupun tersedia lapangan pekerjaan di negerinya, tapi upah yang dijanjikan di luar negeri lebih menggiurkan di banding upah yang ditawarkan di negerinya. Janji-janji tersebut tentunya diberikan oleh perusahaan penyedia TKW melalui makelar atau melihat keberuntungan yang diterima tetangganya sekembali dari negeri orang.
Keberadaan TKW di luar negeri ternyata memberi keuntungan terhadap pemerintah Indonesia. Mereka pun digelari pahlawan devisa meskipun menerima perlakuan buruk dari majikannya. Mereka ditempati pada pekerjaan-pekerjaan kerumahtanggaan seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, kebun, dan lainnya. Kalaupun bukan pekerjaan rumah, penempatannya pada wilayah yang dianggap berbahaya. Penempatan pada kerumahtanggaan juga bisa membahayakan TKW jika majikannya adalah orang kejam. Kebanyakan para TKW menempati pekerjaan dalam kategogi rendahan yang sering disebut jenis pekerjaan dengan ciri 3 D, yaitu dirty, difficult, and dangerous.
Laki-laki yang bekerja di luar negeri dengan pekerjaan rendahan masih bisa menjaga dirinya, tapi perempuan tidak bisa seperti itu. Mereka masih memerlukan perlindungan di negeri yang sangat asing bagi dirinya. Untuk melakukan ibadah haji saja, dalam Islam perempuan harus didampingi suami atau kerabatnya, apalagi mengadu nasib.
Persoalan kedua adalah buruh perempuan pada industri besar seperti tektil, rokok, konveksi, makanan dan minuman, serta industri yang membutuhkan tenaga terampil perempuan. Pada industri-industri tersebut, tenaga perempuan selalu diandalkan, sehingga jumlah tenaga kerja perempuan pada sektor tersebut selalu mengalami peningkatan.
Menurut Sosiolog Pudjiwati Sayogjo, terdapat dua faktor terkait dengan hal tesebut. Pertama, sektor industri tersebut untuk sebagian menuntut ketelitian, ketekunan dan sifat-sifat lain yang umumnya merupakan ciri kaum wanita. Kedua, tenaga kerja wanita dipandang lebih penurut dan murah sehingga secara ekonomis lebih menguntungkan pengusaha. Pengusaha juga selalu mencari tenaga kerja perempuan yang belum berkeluarga karena akan menghemat pengeluaran perusahaaan. Mereka dianggap tidak membutuhkan tunjangan karena mereka belum memiliki tanggungan dibandingkan dengan perempuan yang sudah berkeluarga.
Dalam hal ini, daya tawar yang dimiliki perempuan dianggap lemah. Bahkan mereka dianggap tidak akan mengalami pemberontakan jika merasa tidak menerima keadilan dari perusahaan. Jika perusahaan mengetahui sejarah, tentu dia akan berkaca pada peristiwa kaum buruh perempuan pada satu abad yang silam.
Peran perempuan menjadi buruh, baik di luar negeri maupun di dalam negeri selalu menjadi objek berbagai pihak. Dalam peringatam yang ke 101 ini, peran dan posisi perempuan harus terangkat. Perempuan tidak bisa bekerja sendiri. Semua perempuan Indonesia tidak bisa disamakan dengan sosok Kartini. Pendampingan harus selalu diberikan karena potensi yang dimiliki kaum perempuan sangatlah besar untuk peningkatan perekonomian nasional dan kesejahteraan keluarga.
Jalan satu-satunya untuk mengurangi jumlah TKW adalah dengan menciptakan entrepreneur perempuan sebanyak-banyaknya. Menjadikan perempuan sebagai seorang entrepreneur juga bisa mengurangi tingkat pengangguran kaum perempuan. Mereka tidak perlu mencari pekerjaan ke pabrik-pabrik lagi. Bahkan mereka bisa memberdayakan kaum perempuan lainnya bersama membangun perekonomian demi kesejahteraan masing-masing keluarga.
Bank mesti memberikan perhatian kepada entrepreneur perempuan. Menurut pengalaman beberapa bank yang sudah mengurusi entrepreneur perempuan, ternyata perempuan lebih bisa dipercaya dalam mengelola kreditnya. Sebagai contoh adalah Bankir Bangladesh Muhammad Yunus, nasabahnya difokuskan pada perempuan. Dia memperoleh nobel perdamaian pda 2006 karena dianggap berhasil mengatasi kemiskinan di Bangladesh dengan mengajak kaum perempuan untuk menjalankan usaha mikro.
Cara tersebut juga berlaku di Indonesia, beberapa bank mengikuti jejak Muhammad Yunus. Hanya saja masih dianggap kecil perannya. Bank yang mengikuti pun masih sedikit, bisa dihitung dengan jari. Sudah saatnya bank-bank memberikan perhatian terhadap kaum perempuan bersama-sama membangun ekonomi. Mengingat pelaku Usaha Kecil Menengah dari kaum perempuan sekitar 60 persen, peran dan posisi perempuan ternyata diperhitungkan dalam perekonomian rakyat. Kemtenterian Koperasi dan UKM mengakui, bahwa perempuan lebih cerdas, teliti dan bertanggung jawab dalam pengelolaan usaha dan keuangan dibanding laki-laki. Oleh karena itu, perempuan ternyata bukan manusia yang harus dikasihani. Tetapi manusia yang harus diberdayakan terhadap potensi yang dimiliki karena karakternya cukup bagus menjalankan usaha mikro.
Artikel ini dipublikasikan pula di harian Inilah Koran Jabar 16 Maret 2012 dengan judul TKI, Buruh Perempuan atau Wirausahawati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar