Tahun 1998 pemerintah mengeluarkan peraturan yang ditujukan kepada Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) untuk melakukan konversi atau perubahan dari institut menjadi universitas. Alasannya, lulusan IKIP sedikit yang menjadi guru, ditambah lagi lulusan IKIP dipertanyakan kualitasnya. Selain itu, keberadaan IKIP sebagai penghasil guru dianggap menambah beban negara.
Betapa tidak, orientasi lulusannya adalah ingin menjadi guru PNS. Sedangkan kuota penerimaan guru PNS jauh dari kebutuhan, sehingga yang tidak diterima akan mencari pekerjaan di luar keguruan dari pada harus menjadi guru honorer. Saat itu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negera era Orde Baru T.B. Silalahi mengeluarkan kebijakan untuk tidak menambah jumlah PNS.
Setelah IKIP menjadi universitas, seolah tanggung jawab eks-IKIP berkurang karena tidak hanya berkosentrasi sebagai penghasil guru. Saat ini memang tidak ada yang mempermasalahkan kembali fungsi dan keberadaan eks-IKIP. Tetapi mencuatnya persoalan guru honorer saat ini bisa menjadi persoalan serius atas fungsi eks-IKIP. Nasib buruk profesi guru dari era orde baru hingga melewati fase reformasi tak berhenti. Mungkin sampai bumi hancur pun nasib guru di Indonesia tak akan jelas, selalu ada persoalan.
Kini, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan sertifikasi demi peningkatan kompetensi mengajar. Saya pikir, adanya sertifikasi bukan meningkatkan kompetensi mengajar, tapi kesejahteraan. Tengok saja orientasi para guru yang berjuang memperoleh sertifikasi. Berbagai cara mereka tempuh supaya persyaratan terpenuhi. Ujung-ujungnya, sertifikasi menjadi proyek bagi institusi penyelenggara. Mencuatlah berbagai kasus dan persoalan terkait sertifikasi, salah satunya kecurangan dan manipulasi portofolio. Apakah kompetensi mereka meningkat? Saya kira tidak.
Tenggelam permasalahan sertifikasi, kini mencuat nasib guru honorer setelah 1.000 guru honorer melakukan demonstrasi di depan Istana Negara pada 20 Februari 2012. Mereka menuntut Presiden SBY mengesahkan peraturan pemerintah tentang pengangkatan guru honorer menjadi PNS. Hampir setiap hari media umum memuat berita terkait nasib guru honorer.
Jika memang pemerintah memandang sekolah-sekolah masih kekurangan guru, seharusnya pemerintah tidak perlu mengangkat guru honorer. Dalam artian, pemerintah semestinya mengangkat guru PNS sesuai kebutuhan. Jika seperti itu, apakah para guru dianggap sebagai beban yang ujung-ujungnya keberadaan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) atau eks-IKIP juga dianggap sebagai beban? Justru yang menjadi beban adalah STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) dan IPDN (Institut Pendidikan Dalam Negeri) karena tiap tahun PNS diangkat dari lembaga pendidikan tersebut.
Guru PNS yang dianggap sebagai beban adalah logika yang keliru. Mereka adalah aset bangsa yang harus dioptimalkan karena sebagai pencerdas kehidupan bangsa. Di satu sisi jumlah PNS secara menyeluruh terjadi pembengkakan, di sisi lain guru PNS justru kekurangan. Karena terjadi pembengkakan jumlah PNS, pemerintah memberlakukan moratorium PNS. Pembengkakan terjadi hanya di institusi lain di luar keguruan. Pemerintah menempatkan PNS dalam semua departemen tidak dilakukan secara merata. Tengok saja di beberapa departemen terjadi pembengkakan PNS, tapi pengangkatan guru PNS masih minim, tidak sesuai kebutuhan. Terjadilah pengangkatan guru honorer terus menerus. Nasib guru honorer pun selalu terpinggirkan.
Jika saya mengaitkannya dengan LPTK atau eks-IKIP, di mana peran eks-IKIP dalam menyediakan guru untuk memenuhi kebutuhan sekolah? Melihat persoalan itu, berarti pemerintah mesti mulai mengoptimalkan fungsi LPTK atau eks-IKIP dalam penyediaan guru. Dulu pada era Demokrasi Terpimpin, Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Priyono berusaha mengeluarkan kebijakan, bahwa lulusan FKIP harus menjadi guru demi memenuhi kebutuhan sekolah-sekolah. Karena memperoleh respon negatif dari kalangan FKIP, maka kebijakan tersebut tidak terjadi. Atas kebijakan itu pula, FKIP berubah menjadi IKIP.
Pada era sekarang, tentunya pemerintah tidak perlu mengharuskan hal seperti itu. Tetapi pemerintah mesti menyediakan guru di sekolah-sekolah sesuai dengan kebutuhan, dan penyebaran guru harus dilakukan secara merata. Memang pemerintah telah mengeluarkan program SM3T (Sarjana Mengajar Terdepan, Terluar dan Terdepan) sebagai upaya penyebaran guru-guru di daerah pelosok. Meski telat karena telah didahului oleh Lembaga Swasta dengan program Indonesia Mengajar, program tersebut perlu disambut dengan hangat. Tetapi, dalam kaitan ini keberadaan, peran dan fungsi LPTK atau eks-IKIP tetap tidak bisa diabaikan.
mereka yang terlibat manipulasi fortofolio harusnya di tindak karena bukan hanya manipulasi didalamnya ada juga pemerasan maksudnya orang yang lurus-lurus saja malah di persulit jika tidak memberikan sejumlah uang tapi yang jadi masalah sulit untuk dibuktikan karena itu merupakan fungli yaitu fungutan tanpa tanda bukti otentik
BalasHapusTernyata susah susah gampang jadi guru di era Indonesia modern, tuntutan kehidupan menjadikan guru jadi penuh pamrih..... semangat mencerdaskan bangsa diukur dengan menjadi PNS.
BalasHapusulasan bagus dan menarik, salam ..
BalasHapusulasane peri eksaited... ben wae wong sing podo ra roh durrr kuwi!!!!! iso dadi pejabat, iso dadi menteri, iso dadi presiden kuwi mergo sopo??? ketoro temen disik nek sekolah seng ngajar bongsone demet datan purun
BalasHapusguru yang memperoleh sertifikasi saat ini juga mengalami kesulitan untuk memenuhi syarat. mereka kesulitan untuk mendapatkan jatah mengajar minimal 24 jam seminggu sebagai syarat memperoleh tunjangan sertifikasi. jika tak terpenuhi, sertifikat profesionalnya hanya selembar kertas saja yang disimpan di lemari.
BalasHapusmasalah guru honorer memang masalah klasik yg tak kunjung usai, ditambah lg dgn lowongan kerja yg semakin sulit. hingga ada kesan kalau menjadi guru (honorer)adalah pilihan terakhir setelah tidak ada pekerjaan yang lain
BalasHapus