Demonstrasi menjelang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) semakin meluas banyak. Kini bukan mahasiswa saja yang turun ke jalan, ribuan buruh juga turut meramaikan jalanan untuk menolak kenaikan harga BBM yang akan berlaku pada 1 April 2012. Berbagai alasan dikemukakan bagi yang menolak kenaikan tersebut. Bahkan partai koalisi turut menolak kenaikan harga BBM. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) misalnya mengirimkan surat penolakan dan beberapa opsi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Selama pemerintahan SBY, setiap kali menaikan harga BBM selalu diiringi dengan pemberian kompensasi kepada rakyat miskin dengan nama bantuan langsung tunai (BLT). Sekarang namanya berubah menjadi bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). Tahun 2008, nama BLT berubah sedikit menjadi BLT Plus. Apapun namanya, rakyat miskin akan merasa senang menerima BLT yang kini nominalnya naik dari Rp 100 ribu menjadi Rp 150 ribu per bulan selama 9 bulan. Meski menerima BLT, masyarakat tetap saja tak setuju dengan kenaikan harga BBM.
Bentuk kompensasi inipun menuai kritik dari berbagai pihak meski pemerintah menutup telinga. BLT dianggap hanya menjadikan masyarakat malas berusaha dan tidak mau melakukan hal-hal produktif. Dari pada disalurkan dalam bentuk BLT, lebih baik kompensasi tersebut disalurkan ke dalam bentuk usaha-usaha yang produktif. Dalam pribahasa China, ”Lebih baik memberikan kailnya dari pada memberikan ikannya.” BLT yang dilakukan sebelumnya juga dianggap gagal karena tidak memiliki mekanisme yang jelas serta sistem pendataan yang tidak akurat. Akibatnya, BLT tidak tepat sasaran. Juga BLT dianggap tidak efektif karena bantuannya bersifat sementara. Tetapi, yang lebih parah lagi adalah BLT sebagai jurus jitu untuk mengantisipasi dampak sosial masyarakat yang timbul akibat kenaikan harga BBM.
Artinya, BLT adalah akal-akalan pemerintah supaya tidak menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, baik sebelum maupun sesudah kenaikan harga BBM. Memang saat ini masyarakat menolak kenaikan harga BBM dengan bentuk demo atau bentuk lainnya, tapi setelah itu akan redam kembali. Apalagi diberi uang tunai, masyarakat pasti akan menerimanya. Dalam bahasa kasarnya, ”Guwa kasih loe duit, biar loe diem.” Inilah politik transaksional yang sering dilakukan pemegang kekuasaan yang biasanya terjadi di antara para politisi (terutama dengan partai politik), sekarang dilakukan dengan masyarakat.
Ketidaktegasan pemerintah SBY untuk menaikan harga BBM sebelum ditetapkannya juga memperlihatkan, bahwa kebijakannya penuh dengan nuansa politis. SBY tidak mau citranya pudar serta berdampak sosial, sehingga di kala menemui ”kegalauannya” antara menaikan atau memilih opsi lain, SBY pada akhirnya tetap memilih menaikan harga BBM. Jika memilih opsi pertama, tentu harus diiringi dengan sebuah jurus jitu, yaitu melakukan politik transaksional dengan masyarakat melalui kebijakan BLT.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang melakukan politik transaksional dengan masyarakat melalui bantuan sosial. Di beberapa negara seperti Meksiko, Peru, Guatemala, Kolumbia, Brasil, dan Filipina juga melakukan hal yang sama dengan nama, bentuk dan mekanisme yang berbeda. Bantuan yang disalurkan tidak dalam bentuk pembagian uang secara cuma-cuma, tapi melalui program pendidikan dan kesehatan. Jika bantuan itu tak digunakan untuk pendidikan atau kesehatan, masyarakat tak akan bisa menerimanya. Istilah tersebut dikenal dengan cash conditional transfer (bantuan sosial bersyarat).
Dalam UUD 1945 pasal 34 telah ditegaskan, bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara. Negara wajib memberi makan fakir miskin dan memelihara anak-anak terlantar melalui departemen yang khusus menangani hal itu. BLT merupakan bentuk bantuan kepada fakir miskin, tapi motivasi pemerintah SBY tidak ke sana. Masyarakat miskin justru dijadikan objek dalam melakukan politik transaksional. Jika tidak ada kompensasi kenaikan harga BBM, justru SBY akan kerepotan menangani dampak sosial.
Di saat politik transaksional menjadi kebiasaan para politisi dan parpol yang sering kali dilakukan di belakang layar, justru dengan masyarakat diperlihatkan secara vulgar di ruang publik dengan kedok bantuan sosial. Tak hanya dalam momentum kenaikan harga BBM saja, tapi di luar itu dengan berbagai bentuk lainnya sering kali terjadi. Jika memang motivasi pemerintah—dalam hal ini para politisi—ingin membantu masyarakat, tentu bukan dengan bentuk BLT atau BLSM sebagai kompensasi kenaikan harga BBM. Juga bukan pada momentum kenaikan harga BBM. Masyarakat dalam hal ini rakyat punya hak atas apa yang dikelola pemerintah. Hal ini karena semua yang dipegang pemerintah awalnya bersumber dari rakyat.
BLT hanyalah cara memindahkan uang dari kantong kanan ke kantong kiri yang penuh dengan bolong-bolong karena belum selesai dijahit. Itulah gaya para pejabat (politisi) kita, target kompensasi bukan untuk membantu masyarakat miskin, tapi menahan gejolak dan dampak sosial dari kenaikan harga BBM, yang saya sebut dengan politik transaksional berbalut bantuan sosial.
Politik transaksional memberikan gambaran yang jelas kepada masyarakat, bahwa betapa kotornya panggung politik. Politik dijadikan pasar oleh para pemerannya. Oposan yang selalu tampil menyuarakan kepentingan rakyat, akan bungkam setelah diberikan posisi di pemerintahan. Atau diberikan proyek besar supaya tak terlihat oleh publik. Semua program yang dibuat pemerintah hanya untuk jangka pendek. Mereka hanya berpikir untuk dirinya dan kepentingan "organisasi mafia" (partai penguasa, partai koalisi, partai penjilat, juga partai oposan). Mereka berpikir, jika program bersifat jangka panjang, tentu tidak akan kebagian proyek. Semoga, BLT ataupun BLSM tidak menjadikan rakyat bungkam melihat kekotoran para pejabat dan politisi itu yang sok bergaya ingin menjadi budak-budak kapitalis itu (meminjam istilah dari Tan Malaka).
memang sulit, pda dasarnya hrga itu mengacu pda ekonomi tpi jka politik msuk ke dalamnya jadi *&#$$%6??
BalasHapus