Rudini Sirat

Saha Maneh Saha

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Nomor kontak saya 085721653609. info lengkapnya di http://www.facebook.com/rud.tankian/info

Rabu, 28 Maret 2012

Jawa Pos: Pers, Humas atau Corong Pemerintah


Selama seminggu lalu saya tinggal di Depok. Karena kantor yang saya tempati berlangganan harian Jawa Pos, tiap hari saya membaca harian tersebut. Berbeda dengan di Bandung, saya tiap hari membaca harian Kompas yang bermottokan “Amanat Hati Nurani Rakyat”. Meski segmentasi Kompas adalah kalangan menengah atas, tapi memiliki perhatian serius terhadap kalangan menengah ke bawah. Hal ini bisa dilihat dari laporan-laporan berita yang diturunkan Kompas. Dari mulai sosok kehidupan objek berita, keadaan ekonomi rakyat kecil, persoalan pendidikan hingga persoalan kebijakan pemerintah. Semuanya mengarah pada pembelaan masyarakat kecil. Begitu pula opini dan editorialnya.

Jika anda ngotot saya terlalu membanding-bandingkan kedua media tersebut, itu hak saya karena itu pandangan dan yang saya rasakan. Kompas sedikitnya sudah bisa memegang satu elemen dari '9 Elemen Jurnalisme' dari Bill Kovach, yaitu memiliki sikap loyal kepada masyarakat alias rakyat jelata. Alasannya karena rakyat jelata merupakan pihak yang diperintah dan penerima kebijakan, mereta tak punya alat perjuangan selain diperjuangkan oleh insan dan lembaga pers.

Isu paling hangat dari bulan lalu hingga saat ini adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Isu ini selalu menjadi berita utama. Ada kalangan yang menolak, ada pula kalangan yang menerima. Dari berita yang diturunkan media massa pun berbeda-beda pandangan. Cara menerimanya ada yang dengan tersirat, ada juga dengan terang-terangan. Koran Tempo dalam editorialnya secara terang-terangan setuju dengan kenaikan BBM. Alasannya seperti yang disampaikan oleh pemerintah.

Bahkan SBY dinilai lamban dalam mengeluarkan kebijakan tersebut, seharusnya SBY dari dulu menyatakan akan menaikan harga BBM. Koran Tempo meskipun punya hutang budi dan sedikit kedekatan dengan SBY dan Partai Demokrat, tapi alasan yang dikemukakan tidak sekadar setuju atau tidak. Disini Koran Tempo sedikit sekali berkepentingan terhadap pemerintah.

Kompas, baik dari beritanya maupun opini-opininya berusaha untuk seimbang dalam menurunkan laporan kenaikan harga BBM. Tapi kalau saya baca, ternyata lebih banyak membela masyarakat. Hal ini terlihat dari opini yang dimuat, kebijakan pemerintah berada pada posisi yang salah meski ada juga opini yang bertolak belakang. Begitupun dengan berita-beritanya, mengarah pada dampak kenaikan BBM terhadap masyarakat kecil.

Jawa Pos sangat nampak sekali keberpihakan terhadap pemerintah. Seakan kebijakan pemerintah dinilainya baik. Baca saja semua tulisan yang dimuat Jawa Pos terkait kenaikan harga BBM. Mulai dari berita, surat pembaca, opini yang dipilih, karikatur, editorial tentunya, dan lainnya terkait kenaikan BBM membela pemerintahan SBY dan demokrat. Padahal pemberitaan Dahlan terkait kenaikan BBM meski memiliki posisi sebagai menteri BUMN yang membawahi Pertamina tak diangkat. Ini unutk menjaga kredibilitas Dahlan Iskan di hadapan publik sebagai pejabat. Malah yang terangkat adalah tindakan Dahlan Iskan yang membagi-bagikan duit kepada masyarakat terkait kenaikan harga BBM.

Hal pertama yang akan saya singgung terkait sikap Jawa Pos mengenai dukungan kenaikan harga BBM adalah alasan pemerintah yang selalu diterimanya. Yaitu penyelamatan APBN dan subsidi BBM yang tidak tepat sasaran. Semua yang disampaikan oleh pemerintah diterima tanpa ada kritik sedikitpun dari Jawa Pos.

 Padahal kalau mau berpikir jernih, Jawa Pos bisa mengkritiknya, mulai dari budaya koruptor, swasembada pertambangan minyak, dan dampak kenaikan BBM. Jawa Pos seharusnya berkata bahwa subsidi bukanlah beban, tapi itu adalah hak rakyat. Semua kekayaan yang tertanam di bumi Indonesia adalah hak rakyat, pemerintah terlalu berpikir pragmatis. Kenapa BBM yang menyangkut hajat hidup orang banyak malah dikurangi subsidinya. Jawa Pos tidak bisa memberikan solusi terkait persoalan tersebut selain membernarkan apa yang dikatakan pemerintah.

Kedua adalah demonstrasi kenaikan harga BBM. Jawa Pos selama ini selalu mencibir tindakan-tindakan mahasiswa dan massa yang tergabung melakukan demonstrasi. Bahkan para demonstran harus berpikir jernih saat pemerintah menghadapi kesulitan. Para demonstran jangan melakukan tindakan anarki. Ko bisa pers berpikir seperti itu. Jangan pun demo, revolusi bisa dilakukan masyarakat jika negeri dalam keadaan kacau seperti saat ini. Bagi saya ini kacau karena Indonesia sedikitpun tidak bisa berdiri di atas negeri sendiri.

Ketiga, Jawa Pos beritanya terlalu disibukkan dengan cercaan partai koalisi pemerintah terhadap PKS karena PKS tak mendukung pemerintah dengan kenaikan harga BBM. Itu urusan mereka, Jawa Pos cukup memberitakan apa yang terjadi antara PKS dengan partai koalisi pimpinan Partai Demokrat, tidak perlu ikut mencecar PKS. Energi pers akan habis hanya untuk mengurusi hal yang kurang penting. PKS mau bersebrangan atau keluar dari koalisi itu urusan mereka. Di sini Jawa Pos tidak seimbang dalam memberitakan keadaan hubungan antara PKS dengan partai koalisi. Keempat, terkait bantuan lansung tunai (BLT) atau bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), Jawa Pos malah menjadi Humas-nya pemerintah.

Bahkan, harian ini punya rubrik khusus dengan nama “BUMN”. Keberadaan rubrik BUMN bukan sebagai kontrol sosial terhadap kinerja BUMN, tapi melaporkan program kerja yang tengah dikerjakan serta keberhasilan dan recana positif BUMN. Saat kita menyebut Jawa Pos, maka semua orang akan berpaling kepada Dahlan Iskan. Orang ini adalah pemilik harian tersebut yang saat ini tengah menjabat Menteri BUMN. Dahlan Iskan karena Boss-nya Jawa Pos Group (JPG) dikultuskan oleh harian-harian yang dimiliki JPG.

Bagi Jawa Pos, Dahlan Iskan adalah ‘nabi’. Setiap tindakan dan ucapannya di hadapan publik selalu dibenarkan. Di manapun posisi Dahlan Iskan, maka pihak yang bergandeng dengannya pasti dibela. Jawa Pos katanya tidak akan hidup dan besar seperti saat ini jika tak ada Dahlan Iskan. Bagi saya ini sangat mengkhawatirkan, bahkan tragedi bagi dunia pers. Tapi itulah yang terjadi jika media massa terpusat pada satu orang, baik ide maupun kepemilikan. Seakan keberadaan media massa saat ini jauh dari kepentingan masyarakat, tapi hanya dijadikan alat untuk politik dan kapitalisasi.

Kita jangan dulu terlalu terpukau dengan sosok Dahlan Iskan yang dianggap jujur, kompeten dan bersih. Kita tentu tak membenci orang ini karena sikap dan tindakannya tak kontroversial. Saya pun begitu. Saya hanya mengkritik Jawa Pos yang terlalu membela serta membernarkan pemerintah. Padahal kebijakannya penuh dengan kontroversi.

Saya heran dengan anaknya Dahlan Iskan yang saat ini menjadi Pimpinan Umum Jawa Pos, dia memposisikan Jawa Pos bukan penyambung lidah masyarakat, tapi lembaga yang mencari laba sebesar-besarnya. Saya tidak anti terhadap korporatisasi atau kapitalisasi meda massa, tapi kepentingan rakyat kecil jangan diabaikan. Jangan sampai JPG saat ini sudah besar malah menjadi penjilat penguasa di daerah maupun di pusat.

Sebelum Jawa Pos, ada media massa yang menjadi corong pemerintah dan Partai Demokrat, yakni Jurnas (Jurnal Nasional). Entah ke mana Jurnas sekarang. Mungkin tak memiliki dana lagi. Tapi sekarang pemerintah bersyukur, punya Jawa Pos Group yang dibaca oleh jutaan umat manusia Indonesia. Jurnas masih dianggap wajar, tapi Jawa Pos sebagai media umum sudah tidak wajar dan sehat lagi.

Apakah sikap Jawa Pos sama dengan sebelum Dahlan menjabat Menteri BUMN atau Dirut PLN? Tentu tidak. Tapi yang saya tahu, Jawa Pos dulu bersikap lunak terhadap pemerintah, terutama pemerintah daerah. Bahkan Jawa Pos seperti penjilat Pemda. Kita tunggu sikap JPG selanjutnya jika Dahlan Iskan tak menjabat menteri lagi.

2 komentar:

  1. gewa raka pratama28 Maret 2012 pukul 23.30

    izin nyimak gan....

    BalasHapus
  2. Aku setuju dengan Kang Rudini. Akzn jadi lebih gawat kalau Dahlan tidak lagi jadi menteri. Karena, dia mungkin sudah jadi presiden negeri ini. Nah, Jawa Pos bukanlagi sekadar corong pemerintah, tapi mungkin akan menjadi pengelola utama sumber daya negeri ini, untuk sebesar-besarnya kemakmuran "rakyat" JPG.

    BalasHapus