Rudini Sirat

Saha Maneh Saha

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Nomor kontak saya 085721653609. info lengkapnya di http://www.facebook.com/rud.tankian/info

Minggu, 04 Maret 2012

Menyembunyikan Plagiator


Salah satu tujuan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) mengeluarkan kebijakan publikasi ilmiah sebagai syarat kelulusan mahasiswa S1, S2 dan S3, adalah untuk mengurangi tindakan plagiarisme. Untuk mengetahui seseorang mekukan plagiarisme saat ini cukup mudah. Dengan menggunakan perangkat lunak tertentu karya ilmiah bisa dideteksi keotentikannya.

Baru saja Dikti mengeluarkan surat edaran itu, kini Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) tercoreng namanya terkait plagiarisme. Pasalnya, terdapat tiga dosen di UPI yang diduga melakukan plagiarisme dalam karya ilmiah yang diajukan ke Dikti sebagai syarat menjadi guru besar. Tiga dosen tersebut yaitu Cecep Darmawan (Direktur Kemahasiswaan UPI dan Rektor Universitas Subang), Lena Nuryanti (Dosen Manajemen Bisnis UPI), dan Ayi Suherman (Dosen UPI Kampus Sumedang).


Sebenarnya persoalan tersebut sudah terungkap sejak 2010. Karena pimpinan UPI tidak bertindak tegas terhadap dosen itu, akhirnya persoalan terus bergulir. Padahal Dikti sudah memintanya untuk memberikan sanksi terhadap ketiga dosen tersebut. Kini, banyak media umum memuat berita terkait plagiarisme di UPI. Entah siapa yang membocorkannya, yang jelas ini sebagai upaya untuk memerangi plagiarisme di perguruan tinggi. Lain ceritanya jika kala itu pimpinan UPI memberikan sanksi setelah Dikti memintanya. Tapi pimpinan UPI malah mengklarifikasi perbuatan plagiarisme yang dilakukan tiga dosen itu.

Salah satu dosen yang melakukan plagiarisme, yaitu Cecep Darmawan mengaku tidak berniat melakukan plagiarisme. Dia mengungkapkan, bahwa terdapat kesalahan dalam mengutip karya seseorang sebagai referensi. Tapi suatu hal yang tidak galib jika mereka tak mengetahui hal tersebut. Dalam artian, mereka tidak serius dalam pembuatan karya ilmiahnya, terlalu menggampangkan dan menganggap sepele.

Akibat sekarang tak hanya diterima secara institusi saja, tapi semua dosen UPI menanggung atas perbuatan tercela tiga dosen itu. UPI terancam menerima moratorium dari Dikti, yaitu selama satu tahun ini UPI tidak boleh mengajukan guru besar dan semua dosen UPI tidak bisa naik pangkat. Ini sebagai pelajaran bagi UPI dan perguruan tinggi lain.

Tindakan plagiarisme ternyata membudaya bagi civitas akademika di perguruan tinggi Indonesia karena sebelum UPI, beberapa perguruan tinggi juga pernah mengalami hal yang sama. Kita tentu tidak ingin ini menjadi budaya, plagiarisme yang dilakukan dosen merupakan sebuah penyakit. Sungguh suatu kejahatan jika ide seseorang harus dijiplak demi kepentingan pribadinya untuk memperoleh tunjangan lebih. Padahal mereka adalah tokoh intelektual dan seorang akademisi yang menjunjung tinggi nilai-nilai akademik.

Bagaimana mau menerapkan Tri Dharma perguruan tinggi jika dosen melakukan kejahatan intelektual. Bagaimana pula mereka mau membimbing mahasiswanya yang ingin membuat makalah ilmiah untuk dipublikasikan di jurnal jika dosennya justru melakukan tindakan yang berada di luar norma akademik. Sungguh suatu ironi. Di saat mereka harus memberikan contoh dan mendidik mahasiswanya untuk tidak menyontek saat ujian, malah dikotori oleh perbuatannya sendiri. Apalagi plagiat yang dilakukan terjadi di institusi perguruan tinggi yang memiliki jargon pendidikan dan penghasil pendidik. Sebuah jargon yang memiliki arti dan menyeluruh dalam memaknai pendidikan.

Di kala UPI sedang rajin-rajinnya mengajukan guru besar dan banyak guru besar yang sudah disahkan, UPI sekarang memiliki hambatan untuk mengajukannya kembali. Bahkan, UPI harus menanggung malu. Jika Dikti meminta untuk menegur atau memberikan sanksi, seharusnya UPI mengambil tindakan supaya persoalan tidak berkepanjangan.

Ketiga dosen tersebut tidak bisa diampuni, apalagi sanksi yang diberikan Senat Akademik UPI dari sidang plenonya pada 2 Maret 2012 hanya sanksi administrasi berupa penurunan jabatan dan golongan. Orang yang berada di luar UPI saja berpandangan bahwa ketiga dosen itu semestinya dikeluarkan dari UPI. Kenapa pimpinan UPI yang mengetahui banyak persoalan internal justru bertindak apa adanya. Berikan sanksi sesuai tindakannya. Bila tindakannya mencoreng nama institusi dan identitas pendidikan, maka ketiga dosen tersebut mesti dikeluarkan dari UPI.

Sungguh telah mencederai nilai-nilai pendidikan jika pihak UPI hanya memberikan sanksi yang sangat ringan. Hal ini menjadi tanda tanya juga bagi para alumni, termasuk Teten Masduki (Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia) sebagai alumnus UPI merasa prihatin dengan keputusan Senat Akademik. Telisik punya telisik, ternyata Pembantu Rektor Bidang Keuangan Sumber Daya dan Usaha (PR KSDU) UPI yang mengurusi kepegawaian di UPI adalah senior dan pembimbing karya ilmiahnya Cecep Darmawan. Tengok saja pembelaan yang dilakukan oleh PR KSDU ketika sejumlah wartawan menanyakan hal tersebut. UPI tidak terbuka dalam memberikan penjelasan kepada publik, padahal UPI sendiri yang mengundang wartawan untuk bertanya.

Senat Akademik sebagai badan normatif dalam perguruan tinggi, seolah menuruti apa yang diinginkan PR KSDU UPI. Ada hubungan apa antara Senat Akademik UPI dengan PR KSDU UPI? Suatu keprihatinan pada sebuah institusi pendidikan jika harus disamakan dengan dunia perpolitikan, dimana unsur politis nampak kental. Jika sudah tampak hal tersebut, bukan hanya Cecep Darmawan dan dua dosen itu yang terkena sanksi, PR KSDU juga bisa disalahkan dalam penglolosan dosen tersebut dalam pengajuan guru besarnya. Tulisan ini sebagai upaya agar kultur seperti itu bisa dimusnahkan dalam institusi pendidikan. Dikti juga harus memperhatikan hal tersebut, bagaimana kultur feodal di UPI bisa dihilangkan.

2 komentar: